Sama-sama bikin ketagihan, demikian pula narkoba dan dunia digital. Walaupun tren penggunaan narkoba menurun dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir kita tetap perlu waspada. Semoga penurunan ini tidak dalam rangka conditioning pemanasan hingga pada momentum tertentu akan terjadi lonjakan lagi.
Badan Nasional Narkotika melansir data, pada 2006 ada 7,6 persen generasi muda rentang usia SLTP sampai Akademi atau Perguruan Tinggi yang terdata sebagai pengguna coba-coba. Pada 2016 angka itu turun signifikan jadi 1,6 persen. Angka pengguna narkoba pada rentang usia itu bahkan hampir kandas di 2016. Dari total 4,8 persen pada 2006 menjadi hanya 0,2 persen sepuluh tahun kemudian.
Turunnya jumlah pengguna narkoba diikuti oleh naiknya jumlah pengguna internet. Survei We Are SocialJanuari lalu menunjukkan 91 persen orang dewasa Indonesia mempunyai ponsel, dan 47 persennya menggunakan ponsel pintar. Sebanyak 21 persen menggunakan komputer, dan tablet komputer sebanyak 5 persen. Bahkan 2 persen dari 250 juta rakyat Indonesia memakai televisi internet di rumahnya. Hal ini memperlihatkan pengingkatan penggunaan gawai pintar oleh manusia Indonesia.
Beberapa kalangan menyatakan manusia sedang dilanda “kecanduan” gawai. Internet dan dunia digital menjadi “candu” baru. Adalah Pendeta Pete Phillips, Direktur Codec Research Centre for Digital Theology di Durham University, Inggris merasa jengkel ketika sembilan tahun lalu, katedral di kota itu menolaknya karena dia membaca Alkitab dari gawainya di bangku gereja.
Aturan itu kini telah diperbaharui. "Mereka mengizinkan orang untuk mengambil foto, menggunakan gawai untuk kebutuhan kebaktian—atau apapun yang ingin mereka lakukan. Perilaku telah berubah karena untuk membatasi jemaat dari penggunaan ponsel sama saja dengan meminta mereka untuk memotong lengan mereka," kata Phillips.
Ungkapan pendeta Phillips seakan membangunkan tidur kita semua—ponsel pintar menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap menit hidup kita. Setiap saat, nyaris tanpa jeda, kita membaca doa-doa yang dipanjatkan melalu status di media sosial. Otak pun merespon: lama-lama kita merasa belum berdoa kalau belum menuliskannya di dinding status.
Bukan hanya doa—status tentang niat baik, kalimat hikmah, nasehat bijak, pokoknya segala bentuk cahaya kebaikan berpendar-pendar di status media sosial, dan pada saat yang sama status yang memojokkan, memfitnah, memperkosa martabat kemanusiaan mengguyur bagaikan hujan yang sangat deras. Kita belum merasa puas berdoa dan memaki kalau belum ditulis di media sosial. Kita menjadi sangat bergantung pada media sosial. Ketika ponsel pintar tiba-tiba error atau koneksi internet ntat-ntet, kita mengutuk seribu kali.
Ketergantungan yang sangat kepada media sosial pada taraf dan konteks tertentu adalah “candu”—kita tidak bisa hidup tanpa ponsel dan akses internet. Candu yang dikuasai oleh talbis atau pengalihan kesadaran dari tanah kenyataan menuju alam maya yang justru kehadirannya menjadi sangat nyata.
Baik skip challenge, eraser challenge atau sejumlah “permainan” berbahaya lainnya, candu narkoba dan candu digital menjadi tempat sekaligus cara lari dan melarikan diri dari onggokan sampah kemajuan zaman yang diklaim paling moncer sepanjang abad perjalanan hidup manusia.
Aku yang sebenarnya Aku terpencil, tersandera dan terasing di pojokan bilik masa lalu yang gelap dan pengap. Aku “skip challenge”, aku “narkoba”, aku “media sosial” adalah kepingan-kepingan aku yang paling kasar dan wadag—kepingan yang berserakan di tengah hamparan alam raya yang maha luas ini.[]
jagalan 24.03.17