Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Optimisme Nekat dan Ancaman "Lose-lose Situation"

17 Maret 2017   21:22 Diperbarui: 18 Maret 2017   10:00 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://kammistksbandung.wordpress.com/

Aku kira: / Beginilah nanti jadinya / Kau kawin, beranak dan berbahagia / Sedang aku mengembara serupa Ahasveros. Pembukaan tulisan ini saya ambil dari puisi Chairil Anwar, Tak Sepadan, usai membaca negara Barat yang sedang puyeng oleh tingkat kesuburan reproduksi warga negaranya yang makin menurun.

Saya jadi berpikir liar: tampaknya negara memang benar-benar memerlukan keberadaan dan kehadiran rakyat. Negara ada karena ada rakyat. Sebaliknya, rakyat tetap ada walaupun tidak ada negara. Dalam kondisi dan konteks tertentu, kehadiran negara dan pemerintahan malah merepoti rakyat.

Amma ba’du. Bersyukurlah Indonesia yang tidak dipusingkan oleh target replacement fertility. Rakyat Indonesia masih cukup rajin hamil dan melahirkan anak. Ruang-ruang kosong yang ditinggalkan generasi tua yang sudah udhur dan meninggal dunia, bisa segera terisi.

Optimisme Itu Bernama Nekat

Terkait soal kawin dan beranak, rakyat Indonesia, arek-arek enom, para generasi muda bukan sekadar mengandalkan tekad. Mereka memiliki kadar optimisme sangat tinggi yang tidak dijumpai di negara Barat. Optimisme tingkat tinggi itu bernama nekat.

Bonek alias bondo nekat bukan hanya milik Arek-arek Suroboyo, pendukung fanatik Persebaya. Nekat menjadi milik hampir seluruh rakyat Indonesia, bersamayam sangat dalam di akar kesadaran setiap perilaku mereka. Apabila optimisme nekat diproyeksikan pada skala dan lingkup paling sehari-hari, urusan nikah atau kawin dan beranak cukup bermodalkan kata mugo-mogo atau semoga.

Hari ini dapat rejeki duaratus ribu: “Alhamdulillah cukup.” Besok rejeki agak seret, penghasilan mlorot jadi seratus ribu: “Alhamdulillaah masih cukup.” Mlorot lagi jadi limapuluh ribu: “Mudah-mudahan cukup!” Memasuki situasi agak darurat: “Yaaa…dicukup-cukupkan.” Hingga pada situasi tanpa rasionalitas keuangan untuk ukuran orang modern, arek-arek itu tetap bertahan dengan optmisme nekat: “Kita lihat saja nanti. Gusti Allah mboten sare (Tuhan tidak tidur)!”

Situasi daya tahan mental itu nyaris tidak dimiliki bangsa lain. Dalam situasi terjajah atau krisis atau tertindas bagaimanapun rakyat Indonesia tetap bertahan, drengas-drenges, tertawa merdeka—hingga pihak yang menindas mereka heran dan lelah dengan sendirinya.

Jadi, pemerintah Indonesia tak perlu kawatir terhadap masa depan peradaban dan kemajuan yang akan terlempar menjadi kepingan-kepingan—ancaman serius yang dikawatirkan negara Barat akibat tingkat kesuburan reproduksi warga negara yang menurun.

Hasil riset PBB tahun 2015 menunjukkan tingkat kesuburan global memang masih menyentuh angka 2,5 anak per perempuan. Namun jika dicermati di setiap kawasan, tingkat kesuburan  negara-negara maju sudah dalam tahap krisis.

Masih merujuk pada riset PBB, rata-rata tingkat kesuburan di Uni Eropa (dengan anggota berjumlah 28 negara) pada tahun 2014 mencapai 1,5 anak per perempuan. Portugal (1,2) dan tertinggi di Prancis (2,1) berada pada tingkat paling rendah. Sementara itu di negara non Uni Eropa bekas Uni Soviet di tahun 2015, Rusia mencatat tingkat kesuburan 1,78 anak per perempuan, sedangkan yang lebih rendah lagi di Belarus yakni 1,70 anak per perempuan dan Ukraina sebesar 1,50 anak per perempuan.

Indonesia pernah mengalami penurunan tingkat reproduksi, 2,9 anak per perempuan pada tahun 1990-1995. Program Keluarga Berencana (KB), dua anak cukup, sukses dikawal rezim Orde Baru. Sejak reformasi bergulir hingga saat ini, tingkat reproduksi rakyat Indonesia masih lumayan, yakni 2,5 anak per perempuan (2010-2015). Bahkan Indonesia siap menyongsong bonus demografi.

WEIRD dan Budaya “Makan Gak Makan Kumpul”

Berbeda cara berpikir antara orang Barat dengan orang Asia itu pasti. Keniscayaan itu didukung oleh keberagaman sejarah, budaya dan geografi yang mengerucut pada konsep individualisme dan kolektivisme. Individualisme diwakili oleh hampir mayoritas subjek orang Barat. Para peneliti psikologi melaporkan, mereka adalah orang Barat, berpendidikan, berorientasi industri, kaya dan demokratis—western, educated, industrialised, rich and democratic, atau disingkat Weird.

Menurut Joseph Henrich dari Universitas British Columbia, perbedaan paling menyolok berkisar antara: apakah Anda menganggap diri Anda independen dan serba cukup, atau terkait dan saling terhubung dengan orang lain di sekitar Anda, lebih menghargai kelompok dibanding pribadi? Orang-orang di Barat cenderung lebih individualis dan orang-orang dari negara Asia seperti India, Jepang atau Cina cenderung lebih kolektif.

Kolektivitas negara Asia, khususnya manusia Jawa, secara gamblang ditunjukkan oleh ungkapan mangan gak mangang kumpul (makan tidak makan, kumpul). Atau ungkapan yang lebih fenomenal adalah banyak anak banyak rejeki. Perilaku kolektif ini cenderung menghargai “kesuksesan” bersama. Bahkan di saat menderita kolektifitas itu masih melekat kuat. Ti-ji-ti-beh—mati siji mati kabeh (matu satu mati semua) merupakan komitmen bersama dikala suka maupun duka. Ti-ji-ti-beh bisa juga menunjukkan mukti siji mukti kabeh (mulia satu mulia semua). Orang Jawa masih merasa sungkan, ewuh pakewuh untuk menonjolkan diri. Mereka cenderung menutupi dan “meremehkan” kemampuan atau kompetensinya.

Bagaimana dengan orang-orang di lingkungan Barat? Mereka lebih individualis, cenderung menghargai sukses pribadi dibandingkan pencapaian kelompok. Kebutuhan harga diri yang lebih besar menjadi kebutuhan primer demi mencapai kebahagiaan pribadi. Inflasi diri atau kepercayaan diri berlebih menjadi fenomena yang menjangkiti para Weird. Di Amerika 94 % profesor mengklaim diri mereka memiliki kompetensi di atas rata-rata.

Satu hal lagi, mereka yang hidup di lingkungan yang lebih kolektif cenderung lebih holistik pada cara berpikir, lebih terfokus pada hubungan dan konteks situasi saat ini. Sementara orang-orang di lingkungan yang lebih individualis cenderung untuk fokus pada elemen-elemen yang terpisah, dan mempertimbangkan situasi-situasi sebagai hal yang tetap dan tidak berubah.

Ancaman Lose-lose Situation

Lalu apa kaitan semua itu dengan tingkat replacement fertility global yang cenderung menurun? Masih ingat bagaimana Rumania di era komunis dulu pernah menyatakan, “Kamu harus menyumbang sesuatu bagi negara. Jika bukan anak sebagai buruh masa depan, bisa diganti dengan uang!”

Ringkasnya, ekonomi negara-negara maju yang sudah mapan dan kokoh itu akan berakhir menjadi monumen mati karena tidak ada generasi yang meneruskan. Tidak ada bayi yang lahir, artnya tidak ada calon buruh atau calon pekerja murah yang menyalakan mesin produksi. Secanggih-canggihnya mesin kecerdasaan Google, pekerja manusia tetap diperlukan. Lose-lose situation sedang mengintai masa depan reproduksi negara Barat.

Jadi, populasi penduduk itu adalah potensi tenaga kerja—juga konsumen yang menggerakkan kegiatan ekonomi. Cara berpikir yang segmentatif—fokus pada elemen-elemen yang terpisah. Itupun elemen yang dimaksud adalah materialisme dalam bentuknya yang paling materi.

Banyak anak banyak rejeki, dengan demikian, tidak sepenuhnya keliru. Pada konteks tertentu ia merefleksikan kesadaran kolektif yang menjadi salah satu pilar “ketahanan” mental bangsa Indonesia.

Dan tentu saja Indonesia tidak akan mencanangkan program, misalnya “Do it for Denmark”—program paket liburan bagi pasangan muda di Denmark agar segera hamil dan memiliki anak. Atau program Hari Keluarga di Korea Selatan, yang pada hari Rabu pukul 19.00 setiap bulan aliran listrik diputus demi menciptakan suasana yang “kondusif” untuk menambah anak.   

Modal “budaya tak tampak” yang tidak dimiliki negara-negara maju itu adalah modal nekat. Soal nekat ini, arek-arek memang tak tertandingi.[]

jagalan 17.03.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun