Eufemisme lebih berbahaya dari tuduhan yang tidak sepenuhnya tepat itu. Sepotong buah pisang oleh eufemisme bisa ditampilkan sebagai durian. Lalu dimanakah rasionalitas? Ia bisa ditemukan tatkala manusia masih memelihara roso kemanusiannya, menjaga martabat dan harga dirinya sebagai manusia—bukan sebagai robot, atau—maaf, seperti hewan.
Tetap Menjadi Manusia yang Real-time
Di tengah rasionalitas manusia yang semakin kabur, sementara rasionalitas dan daya pikir mesin kecerdasan Google semakin moncer, apa yang tersisa dari keterampilan manusiawi kita?
Tertulis dalam laporan yang dibuat California Department of Motor Vehicles (DMV) pada tahun 2016, mobil tanpa pengemudi ciptaan Google telah menempuh jarak 1.023.330 km dan membutuhkan intervensi manusia 124 kali. Itu berarti satu intervensi pada setiap 8.047km mobil itu berjalan tanpa pengemudi.
Akan tetapi, yang lebih menakjubkan ialah kemajuan yang mereka capai dalam satu tahun: intervensi manusia berkurang dari 0,8 kali per seribu mil (1609,344km) menjadi 0,2, yang berarti peningkatan kinerja sebesar 400%.
Jika komputer secara cepat dan pasti sedang mengambil alih tugas dan pekerjaan yang paling manusiawi, pekerjaan yang membutuhkan rasionalitas dan kreativitas, apakah artinya sekolah yang menyiapkan siswa menjadi manusia masa depan? Apakah artinya belajar bahasa asing ketika dalam kehidupan profesional keterampilan itu mungkin bukan lagi keunggulan kompetitif, jika kita mempertimbangkan perkembangan mesin alih-bahasa real-time belakangan ini?
Kalimat Viktor Mayer-Schonberger di awal tulisan ini layak dijadikan peringatan sekaligus ungkapan sikap prihatin: sekolah masih terus menerus melakukan self-cyborgification—mentransformasi diri sendiri menjadi robot. Rasionalitas yang dihasilkan sekolah melalui self-cyborgificationdijamin pasti kalah oleh mesin kecerdasan Google.
Saya sungguh berharap pergantian kurikulum pendidikan pada setiap rezim yang berkuasa bukan eufemisme untuk mengaburkan self-cyborgificationitu. Bukan untuk menyamarkan lobang yang masih menganga dan tidak kunjung ditemukan kontinuasi sejarah peradaban bangsa Nusantara terkait model pendidikan di negeri ini. Bukan pula untuk mengelambuhi diri sendiri bahwa pendidikan kita sejatinya belum menyentuh dasar substansial karakter manusia Indonesia.
Ini bukan soal saya seorang luddite atau anti teknologi. Ini tentang bagaimana kita tidak boleh menyerah menggunakan nalar sehat, logika dan pemikiran kritis seraya menjaga kemesraan berinteraksi dengan sesama manusia. Mengolah informasi menjadi keputusan rasional tetap di tangan kita. Kontribusi inilah yang belum maksimal dicapai oleh sekolah.
Mark Peter memberi saran, kira harus memelihara jiwa kreatif, sikap spontan, bahkan ide tak rasional dalam mendidik anak-anak kita. Bukan karena ketidakrasionalan itu merupakan sebentuk kebahagiaan tak terkira, namun karena sepercik kreativitas tak logis akan melengkapi rasionalitas mesin. Hal ini akan merupakan jaminan bahwa kita selalu punya tempat dalam evolusi.
Saya sepakat dengan Peter. Namun, bagaimana dengan sekolah dan para guru yang mungkin belum kaffah membaca peta perjuangan menjadi manusia masa depan? Semoga kekhawatiran saya tidak terbukti. []