Apabila paradigma tersebut ditransformasikan dalam Gerakan Literasi Sekolah, maka aktivitas membaca buku setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, bagaikan aktivitas mayat hidup—aktivitas tanpa nyawa, bangunan tanpa pondasi. Mengapa?
Secara sederhana kita membagi objek kajian baca menjadi tiga, yakni membaca diri, alam semesta, dan kitab suci. Proses belajar sekolah yang cenderung bergaya linier robotik justru mengabaikan kenyataan bahwa siswa adalah manusia—yang bukan hanya dibekali Tuhan kemampuan bawaan, tetapi sosok dengan keunikan khas yang akan mengemban amanah kehidupan masa depan.
Robotisasi yang diselenggarakan sekolah sesungguhnya menafikan hakekat membaca—membaca kenyataan diri sebagai manusia.Gerakan literasi yang digelorakan sekolah belum menyentuh sisi paling fundamental yang dibutuhkan siswa sebagai manusia.
Siswa diajak belajar ini-itu, meneliti fakta sains, menghitung nilai matematis, mempelajari teks-teks keagamaan, namun hal itu justru kontra produktif karena semakin diajak bergerak keluar, siswa semakin merasa asing dengan dirinya. Terhadap kenyataan siapa diri ini, sekolah belum menganggapnya penting. Siswa cukup diberi tugas membaca teks yang tertulis dan itu disebut gerakan literasi.
Apa Nasib Bumi Pertiwi?
Semakin banyak kata yang disandingkan dengan literasi. Bahkan “informasi” yang semakin melimpah kini menjadi “bahan” tersendiri yang perlu diliterasikan. Literasi informasi, literasi media dan sejumlah frase bentukan lainnya menunjukkan kita sedang tidak dalam keadaan melek mata. Hoax yang membanjiri arus informasi merupakan fakta bahwa gerakan literasi kita masih sepihak, sepenggal-sepenggal, terkotak-kotak dan kehilangan maknanya yang subtansial.
Semua itu merupakan akibat dari literasi yang fokus dan memprimerkan teks yang tertulis. Padahal di balik teks ada paragraf, kalimat, kata, diksi, denotatif, konotatif, ideologi, sejarah, paradigma, makna, nuansa, hakekat, nyawa, roh. Apa akibatnya? Sebut saja satu hal: perilaku beragama yang tekstual yang diajarkan melalu gerakan literasi yang terjebak materialisme, tidak lagi menyapa kontekstualitas apalagi menghayati makna dan hakekat ajaran agama.
Kita berperilaku tidak sebagai manusia Nusantara karena literasi yang dikembangkan bukan hasil kontinuasi dari akar peradaban bangsa sendiri. “Wahai kenyataan alam, wahai kenyataan diri, wahai kenyataan zaman, apa nasib bumi pertiwi?” teriak Iwan Fals, dalam lagu Untuk Yani.
jagalan 02.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H