Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati-hati Mengartikan, Gerakan Literasi Bukan Sekadar Gerakan Baca dan Tulis

2 Maret 2017   18:14 Diperbarui: 17 Juli 2017   09:51 4648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba kata “literasi” menjadi cukup populer belakangan ini. Kita disuguhi rangkaian kata: Gerakan Literasi Sekolah, Literasi Media, Literasi Agama, Literasi Keuangan, Literasi Seks. Dari semua rangkaian suku kata itu, literasi nyaris dipahami sebatas aktvitas dan gerakan baca-tulis.

Anies Baswedan saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah menggelorakan gerakan literasi di sekolah. Tigapuluh menit sebelum kegiatan belajar, siswa diberi kesempatan  membaca buku. Taman Bacaan Masyarakat (TBM) selalu identik dengan gerakan literasi—mengajak warga supaya aktif dan rajin membaca buku.

Literasi juga bersentuhan dengan agama. Diane L. More dalam artikel Overcoming Religious Illiteracy: A Cultural Studies Approach menyatakan literasi agama adalah kemampuan untuk melihat dan menganalisis titik temu antara agama dan kehidupan sosial, politik, dan budaya dari beragam sudut pandang.

Literasi: Bukan Sekadar Membaca Teks Tertulis

Entah karena latah, ikut-ikutan, efek viral di media sosial, literasi mengalami perjalanan yang salah arah, disorientasi, dan berkutat pada ruang sempit untuk sekadar mengaktivasi kemauan baca-tulis. Gerakan yang mendorong masyarakat senang membaca dan menulis otomatis dinamakan gerakan literasi. Sekolah yang rajin memfasilitasi siswa baca buku akan dijuluki sekolah yang sadar literasi.

Apabila literasi adalah membaca dan menulis itu sendiri—alangah cupet dan sempit ruang geraknya. Apabila wujud literasi adalah setumpuk buku dan sejumlah alat tulis—alangkah malang hidup anak-anak di dusun pedalaman. Apabila gerakan membaca bertujuan untuk mendongkrak peringkat literasi internasional—alangkah remeh dan temeh ambisinya.

Saya sepakat dengan pengertian literasi yang disampaikan Education Development Center (EDC). Literasi bukan sekadar kemampuan baca-tulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia.

Menggunakan terminologi surat Al ‘Alaq, yang dikenal sebagai wahyu pertama, perintah iqra’ mengandung subtansi pengertian membaca yang hakiki, fundamental dan sekaligus luas.

“Membaca” dalam berbagai makna yang terkandung di dalamnya merupakan syarat pertama dan utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus membangun peradaban. Sejarah membuktikan bahwa peradaban-peradaban yang berhasil eksis dan tahan lama, justru diawali dari sebuah kitab (bacaan), ungkap Prof. M. Quraish Shihab.

Literasi Mayat Hidup

Sampai disini semoga kita sepakat bahwa membaca yang dikaitkan dengan (gerakan) literasi memiliki subtansi, makna, ruang lingkup, sasaran, objek yang cukup luas dan beragam. Membaca buku dan menulis merupakan tahap kesekian kali dari upaya “membaca” yang jauh lebih ruhaniah, substantif dan maknawi.

Apabila paradigma tersebut ditransformasikan dalam Gerakan Literasi Sekolah, maka aktivitas membaca buku setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, bagaikan aktivitas mayat hidup—aktivitas tanpa nyawa, bangunan tanpa pondasi. Mengapa?

Secara sederhana kita membagi objek kajian baca menjadi tiga, yakni membaca diri, alam semesta, dan kitab suci. Proses belajar sekolah yang cenderung bergaya linier robotik justru mengabaikan kenyataan bahwa siswa adalah manusia—yang bukan hanya dibekali Tuhan kemampuan bawaan, tetapi sosok dengan keunikan khas yang akan mengemban amanah kehidupan masa depan.

Robotisasi yang diselenggarakan sekolah sesungguhnya menafikan hakekat membaca—membaca kenyataan diri sebagai manusia.Gerakan literasi yang digelorakan sekolah belum menyentuh sisi paling fundamental yang dibutuhkan siswa sebagai manusia.

Siswa diajak belajar ini-itu, meneliti fakta sains, menghitung nilai matematis, mempelajari teks-teks keagamaan, namun hal itu justru kontra produktif karena semakin diajak bergerak keluar, siswa semakin merasa asing dengan dirinya. Terhadap kenyataan siapa diri ini, sekolah belum menganggapnya penting. Siswa cukup diberi tugas membaca teks yang tertulis dan itu disebut gerakan literasi.

Apa Nasib Bumi Pertiwi?

Semakin banyak kata yang disandingkan dengan literasi. Bahkan “informasi” yang semakin melimpah kini menjadi “bahan” tersendiri yang perlu diliterasikan. Literasi informasi, literasi media dan sejumlah frase bentukan lainnya menunjukkan kita sedang tidak dalam keadaan melek mata. Hoax yang membanjiri arus informasi merupakan fakta bahwa gerakan literasi kita masih sepihak, sepenggal-sepenggal, terkotak-kotak dan kehilangan maknanya yang subtansial.

Semua itu merupakan akibat dari literasi yang fokus dan memprimerkan teks yang tertulis. Padahal di balik teks ada paragraf, kalimat, kata, diksi, denotatif, konotatif, ideologi, sejarah, paradigma, makna, nuansa, hakekat, nyawa, roh. Apa akibatnya? Sebut saja satu hal: perilaku beragama yang tekstual yang diajarkan melalu gerakan literasi yang terjebak materialisme, tidak lagi menyapa kontekstualitas apalagi menghayati makna dan hakekat ajaran agama.

Kita berperilaku tidak sebagai manusia Nusantara karena literasi yang dikembangkan bukan hasil kontinuasi dari akar peradaban bangsa sendiri. “Wahai kenyataan alam, wahai kenyataan diri, wahai kenyataan zaman, apa nasib bumi pertiwi?” teriak Iwan Fals, dalam lagu Untuk Yani.

jagalan 02.03.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun