Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merindukan Kidung Kasih Sayang

28 Februari 2017   09:07 Diperbarui: 28 Februari 2017   09:16 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.fiqhmenjawab.net

Tulisan ini tidak hendak menggugat apalagi mengadili seruan di beberapa masjid, mereka yang mendukung penista agama kalau mati tidak akan dishalati. Siapapun tahu himbauan atau mungkin lebih tepat disebut ancaman itu tidak lepas dari motif politik. Tulisan ini tidak akan berdebat dan memperdebatkan itu semua.

Soal masjid, saya teringat puisi Cak Nun, Begitu Engkau Bersujud. Begitu engkau bersujud, terbangunlah ruang / yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid / Setiap kali engkau bersujud, setiap kali pula / telah engkau dirikan masjid / Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid / telah kau bengun selama hidupmu? / Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu / meninggi, menembus langit, memasuki alam makrifat.

Mempolitisir masjid, istilah ini diungkapkan oleh Wakil ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), Masdar Farid Mas'udi—terjadi apabila masjid dipahami sebagai lembaga atau lebih sempit lagi bangunan yang ditempat orang shalat. Adapun masjid secara hakiki, seperti dalam puisi Cak Nun, menemukan kedalaman dan keluasan maknanya.

Zaman saya kecil, langgar, mushola dan masjid kerap melantukan puji-pujian atau kidung yang menyentuh hati, sambil menunggu jamaah shalat lima waktu. Tembang Lir-ilir yang dipadukan dengan bacaan shalawat, Tombo Ati, syiiran Gusti Kanjeng Nabi menghiasi waktu demi waktu. Hampir setiap anak kecil hafal. Mereka melantunkannya dengan suara keras penuh semangat.

Bapak saya pernah bercerita, dekade tahuan 1950 an pujian Lii khomsatun selalu disenandungkan setelah adzan. Pujian itu lengkapnya berbunyi: Lii khomsatun uthfi bihaa harral waba'il hatimah. Al mushthofa wal murtadlo wabnaahumaa wal fathimah (Saya memiliki lima pusaka, untuk membuka pintu surga,  memadamkan api neraka dan menolak siksa Allah. Nabi Muhammad, Sayyidina Ali, kedua putranya Hasan dan Husain, dan Siti Fathimah).

Bagi kalangan santri dan masyarakat di tanah Jawa, pujian li khomsatun bukan pujian yang asing. Bahkan, kidung ini diyakini bisa mengusir pagebluk atau wabah penyakit. Konon, KH Idris Marzuki, pengasuh pondok pesantren Lirboyo Kediri Jatim, pernah menggerakkan santri agar membaca shalawat li khomsatun untuk mengusir wabah penyakit di sekitar pesantren.

Mengapa saya menceritakan itu semua? Menjadi aneh rasanya menyaksikan benturan-benturan yang kini ramai dinamakan intoleransi itu. Perilaku ini seperti perilaku bukan kita—bukan kontinuasi cara dan sikap beragama bangsa Nusantara. Umat saling berhadapan, menjadi tameng kepentingan politik—dan bisa dipastikan mereka adalah tumbal.

Kidung dan tembang yang dilantunkan dengan suara mendayu-dayu, syiir yang sarat makna ajaran budi pekerti itu, semakin jarang kita dengar di mushola dan masjid. Syiir Tanpa Waton yang beberapa waktu lalu sering dikumandangkan setelah adzan, kini tak lagi kita dengar.

Salah satu bait syiir Tanpa Waton adalah akeh kang apal Qur’an haditse / seneng ngafirke marang liyane / kafire dewe dak digatekke / yen isih kotor ati akale. …kelawan konco dulur lan tonggo / kang podo rukun ojo dursilo / iku sunnahe rosul kang mulyo / Nabi Muhammad panutan kito.

Kita mengenal cukup banyak kidung yang diciptakan oleh para wali, seperti Lir ilir, Cublek-cublek Suweng, Eee Dayohe Teko, Gundul-gundul Pacul yang sarat dengan ajaran budi pekerti. Kidung-kidung itu menghiasi langgar, mushola dan masjid menjelang shalat lima waktu, menghiasi hidup setiap saat, menjadi pitutur yang tak lekang oleh waktu.

Para leluhur kita menekankan pendidikan moral, akhlak, budi pekerti melalui tembang dan kidung. Yang dipentingkan adalah kandungan pesan dan inti ajaran agar setiap pribadi muslim memiliki adab dan tata krama.

Jalan yang ditempuh salah satunya adalah ngaji. Berasal dari tembung aji, yang berarti berharga. Ngaji adalah upaya menjadikan diri berharga dan mulia di hadapan Tuhan berbekal ilmu dan laku. Adapun kepada sesama manusia kita saling ngajeni—saling menghargai dan memuliakan sebagai sikap utama pribadi yang aji. Ngajeni menjadi output dari proses ngaji. Aji, ngaji, ngajeni—proses melingkar yang terus diupayakan oleh setiap pribadi.

Para kekasih Tuhan menuntun umat dengan hati mengayomi dan merangkul semua. Umat tidak diajarkan cara bersikap fikih yang keras. Fikih politik tidak diajarkan secara langsung kepada masyarakat, kecuali kepada santri yang memang ingin mendalaminya dan bertekad menjadi penerus para guru.

Zaman belum diotak-kotak oleh spesialisasi, bidang-bidang dan departemen-departemen, sehingga watak kepemimpinan tampil secara utuh dan padu. Seorang kyai adalah guru ngaji, petani, pendekar, motivator, mursyid thariqah, ahli nyuwuk—sejumlah “kompetensi” untuk menemukan solusi yang dibutuhkan masyarakat, komplit dimiliki oleh mereka yang diangkat sebagai pemimpin umat.

Alangkah indah, damai dan tenteram hidup kakek-nenek dan mbah-buyut kita dahulu kala dalam asuhan para kekasih Tuhan yang welas asih. Mereka dibimbing dengan keteladanan dan rasa seni yang sederhana, tetapi sarat nilai luhur.[]

jagalan 01.03.17

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun