Jalan yang ditempuh salah satunya adalah ngaji. Berasal dari tembung aji, yang berarti berharga. Ngaji adalah upaya menjadikan diri berharga dan mulia di hadapan Tuhan berbekal ilmu dan laku. Adapun kepada sesama manusia kita saling ngajeni—saling menghargai dan memuliakan sebagai sikap utama pribadi yang aji. Ngajeni menjadi output dari proses ngaji. Aji, ngaji, ngajeni—proses melingkar yang terus diupayakan oleh setiap pribadi.
Para kekasih Tuhan menuntun umat dengan hati mengayomi dan merangkul semua. Umat tidak diajarkan cara bersikap fikih yang keras. Fikih politik tidak diajarkan secara langsung kepada masyarakat, kecuali kepada santri yang memang ingin mendalaminya dan bertekad menjadi penerus para guru.
Zaman belum diotak-kotak oleh spesialisasi, bidang-bidang dan departemen-departemen, sehingga watak kepemimpinan tampil secara utuh dan padu. Seorang kyai adalah guru ngaji, petani, pendekar, motivator, mursyid thariqah, ahli nyuwuk—sejumlah “kompetensi” untuk menemukan solusi yang dibutuhkan masyarakat, komplit dimiliki oleh mereka yang diangkat sebagai pemimpin umat.
Alangkah indah, damai dan tenteram hidup kakek-nenek dan mbah-buyut kita dahulu kala dalam asuhan para kekasih Tuhan yang welas asih. Mereka dibimbing dengan keteladanan dan rasa seni yang sederhana, tetapi sarat nilai luhur.[]
jagalan 01.03.17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H