Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca Fakta dengan "Keyakinan Pokoknya"

21 Februari 2017   00:58 Diperbarui: 21 Februari 2017   12:32 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://ciputrauceo.net

Dua pejalan kaki yang tersesat di padang pasir tengah berdebat. Dari kejauhan satu orang melihat onta, sedangkan temannya melihat kerbau. Temannya segera meralat, tidak ada kerbau hidup di padang pasir. Yang paling masuk akal hewan di kejauhan itu adalah onta.

Tidak ada jalan untuk menyelesaikan perselisihan pendapat selain mereka harus mendekati objek itu. Mereka semakin dekat tapi belum bisa memastikan gerangan apakah sesuatu itu. Namun, benda yang menjadi sasaran pengamatan tiba-tiba terbang. “Burung!” teriak salah satu diantara mereka.

“Bukan!” sergah kawannya. “Itu tadi kerbau.”

“Itu pasti burung. Dia bisa terbang.”

“Pokoknya kerbau!”

“Kerbau bisa terbang?” tanya kawannya bingung.

“Pokoknya itu kerbau—kerbau yang bisa terbang!”

Menjalani hidup yang sangat singkat ini saya berdoa semoga Anda tidak pernah dipertemukan dengan “sosok” yang setiap argumentasi pendapatnya mengandalkan kalimat “pokoknya”. Saya pernah berjumpa dan terlibat cukup lama bergaul dengan “manusia-pokoknya”. Daripada saya ikut edan lebih baik sing waras ngalah. Saya undur diri.

Keyakinan yang Salah Sasaran

Muatan sikap “pokoknya” menunjukkan keangkuhan dan cara berpikir yang bebal ketika fakta tidak diterima secara apa adanya. Pokoknya saya ini pemimpin, penguasa, juragan, bos, yang punya uang atau segala atribut subjektif yang bisa membenarkan diri, dipasang untuk pembenaran.

Saat ini kita menemukan banyak sekali bukti bahwa keyakinan dan intuisi yang telah berurat berakar telah menjadi panglima. Keyakinan dan intuisu itu—entah atas nama politik, ekonomi, pendidikan mempengaruhi bagaimana seseorang menerjemahkan informasi yang dia terima. Fakta yang dikandung oleh sebuah informasi, dengan segala kemungkinan bias, hoax, akurasi dan validitas yang menyertainya, dicernai sesuai filter dan cara pandang yang ditunggangi oleh pamrih subjektif keyakinan.

Tidak jadi soal apabila keyakinan itu digunakan untuk membela objektivitas 2+2=4. Kita patut cemas justru ketika keyakinan dan intuisi diterapkan pada sasaran yang setiap saat dan setiap detik selalu berubah. Dinamika sebuah fakta tidak mungkin dipahami, disikapi dan diselesaikan dengan “keyakinan pokoknya”.

Satu objek bisa dipotret dari berbagai sisi, sudut pandang, jarak pandang, intensitas pencahayaan, ukuran fokus lensa—sehingga ada kemungkinan jutaan foto bisa dihasilkan walaupun berbeda hanya sekian mili jarak pandang. “Keyakinan dan intuisi pokoknya” tidak memiliki atau belum merambah cakrawala kemungkinan yang serba tidak terbatas itu.

Membongkar Asumsi

Dengan demikian adalah suatu kesalahan kalau kita berasumsi bahwa mengoreksi pendapat orang lain bisa dilakukan dengan memberikan lebih banyak fakta. Upaya ini tidak selalu berhasil. Disodori fakta atau tidak, sistem “keyakinan pokoknya” sudah kadung terinstal dalam diri, sehingga membeberkan fakta-fakta pendukung justru kontra produktif. Fakta yang diajukan itu akan terseleksi dengan sendirinya oleh software keyakinan pokoknya dan berakhir dengan penolakan.

Bisa dipastikan, fakta yang diterima adalah fakta yang sesuai dan compatible dengan sistem keyakinan dan intuisi yang sudah terlanjur melekat.

Persoalan ini, maaf, bukan menjerat orang bodoh yang tidak berpendidikan. Sebaliknya, orang-orang yang berpendidikan, dengan kemampuan matematika yang tinggi, dan punya kecenderungan untuk dapat introspeksi tentang keyakinan mereka adalah yang paling mungkin menolak informasi yang bertentangan dengan prasangka mereka, ungkap Tom Stafford dalam How Curiosity can Protect the Mind from Bias.

Semakin jelas sekarang. Asumsi praduga dan prasangka merupakan hasil ketika seseorang terlalu sering menggunakan insting dan tidak berpikir secara mendalam, tidak selamanya berlaku. Demikian pula asumsi mereka yang bisa berpikir secara mendalam tentang suatu masalah, serta menggunakan kekuatan kognitifnya untuk mencari pembenaran tentang apa yang sudah mereka yakini dan mencari alasan untuk meniadakan bukti yang berlawanan—pada situasi tertentu sering sekali kita jumpai.

Jiwa Digital Tak Pernah Mati

Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi apabila dua kubu saling menggunakan kekuatan logika dan kognitifnya untuk beradu pembenaran tentang kenyataan sambil menutup sebelah mata dan meniadakan fakta yang tidak sesuai dengan sistem keyakinan dan intuisi mereka?

Media sosial seperti tidak pernah kehabisan stok tema perdebatan. Saya sampai heran sendiri. Tema remeh temeh hingga tema mendasar, yang seharusnya didiskusikan secara langsung, bertemu muka di warung kopi, diobral menjadi pembicaraan eceran. Orang saling mendebat tema ketuhanan misalnya, seringan debat kusir di pinggir jalan.

Jejak perdebatan di media sosial akan abadi. Jiwa digital itu akan dibaca oleh anak cucu. Mereka yang menelusuri laman Facebook kita akan mengetahui rekaman perjalanan hidup itu. Kita tidak tahu kapan akan mati—dan itu pasti, jiwa digital kita tetap hidup dan bisa diakses siapa saja. Apakah kita akan meninggalkan jejak jiwa digital sebagai manusia cakrawala ataukah manusia dengan keyakinan pokoknya? []

jagalan 21.02.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun