Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Virus Hoax dan Agnotologi yang Terabaikan

18 Februari 2017   20:19 Diperbarui: 19 Februari 2017   11:49 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Virus itu berkembang biak dalam sel-sel saraf otak karena mendapat asupan “gizi” algoritme yang menjadi “nyawa” berpikir media sosial. Warga media sosial akan disodori dan disuguhi sajian informasi yang seirama, seide, seselera, seideologi. Algoritme tidak selalu menguntungkan pengguna media sosial, walaupun ada sisi positif yang membantu penggunanya meneguhkan minat dan hobi yang bermanfaat.

Namun, harap diingat, algoritme akan menyorong pengguna media sosial masuk ke dalam dunia kecil, dunia tempurung atau ruang gelembung—ruang dimana manusia mengunyah informasi dan mengambil kesimpulan berdasarkan sajian berita yang telah dipercaya sesuai keyakinan. Pada saat bersamaan proses berpikir telah terkontaminasi virus hoax yang telah berurat berakar. Dunia kurasi yang “indah” bukan?

Perselisihan pendapat yang terjadi di media sosial terkait tema apa saja, dan meruncing menjelang Pilkada, merupakan pertarungan ruang gelembung yang semu. Masing-masing pihak mengajukan argumen bersama dalil-analisa dari sejumlah kantor berita, media online, para pakar, peristiwa tertentu sesuai keyakinan atau intuisi yang telah melekat pada diri mereka.

Mengapa ruang gelembung itu semu? Merujuk Karl Raimund Popper, realitas merupakan dunia ketiga, dunia yang berisikan pikiran manusia dan produk pikiran manusia. Karena itu, hoax yang muncul di media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram hingga aplikasi pesan Whatsapp, informasinya tergolong realitas semu, ungkap Ana Nadya Abrar dalam Melawan “Hoax” dengan Pikiran.

Saya sepakat dengan Abrar—hoax bukan semata berita bohong. Ia terkait pula dengan proses berpikir manusia dari sentimentil ke arah rasional atau dari rasional ke arah suprasional. Pada titik terakhir ini kebenaran adalah prioritas utama.

Agnotologi Sepakat untuk Tidak Sepakat

Agar tidak terjebak pada bias konfirmasi kebenaran, kita perlu keluar dari zona nyaman yang diciptakan oleh algoritme. Menyadari bahwa media sosial merupakan ladang subur untuk menyebarkan kebingungan dan mengaburkan fakta-fakta merupakan kewaspadaan yang patut dipelihara setiap detik.

Kewaspadaan yang menurut kajian Proctor disebut agnotologi, akar kata dari agnosis dan ontologi. Agnosis ialah kata dalam bahasa klasik Yunani untuk kebodohan atau ‘ketidaktahuan’, sedangkan ontologi merupakan cabang metafisika yang membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Agnotologi merupakan kajian mengenai tindakan menyebarkan kebingungan dan tipu daya secara sengaja, biasanya untuk menjual produk atau mendapat keberpihakan, ungkap Georgina Kenyon dalam The Man Who Studies The Spread of Ignorance.

“Ketidaktahuan bukan hanya mengenai hal-hal yang belum diketahui, itu juga rencana politis dan skema yang diciptakan oleh pihak-pihak kuat yang ingin Anda ‘tidak tahu’,“ kata Proctor.

Kerap kita menemukan perdebatan di media sosial yang berakhir dengan kalimat “kita sepakat untuk tidak sepakat”. Ungkapan ini menunjukkan indikator agnotologi bekerja dan mengaburkan pandangan setiap pihak yang “berselisih” pandang. Bukan tema politik dan kredibilitas pasangan calon saja yang menjadi bahan perselisihan—tafsir tentang perilaku beragama juga menjadi ajang bagi agnotologi eksis.

Tidak memahami konsep atau fakta secara apa adanya menjadi pemicu ketika khalayak dikaburkan pemahaman mereka. Kenyataan yang paradoks di tengah banjir informasi yang cukup satu kali “klik” untuk mengaksesnya. “Kita hidup di dunia dengan kebodohan yang radikal dan ajaibnya kebenaran dalam wujud apapun lewat begitu saja di tengah kebisingan. Sehingga meskipun pengetahuan ‘dapat diakses’, bukan berarti itu ‘diakses’,” kata Proctor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun