Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Optimisme "Qoumun Akhor" Indonesia

14 Februari 2017   07:53 Diperbarui: 14 Februari 2017   08:21 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://www.caknun.com

Fenomena itu menunjukkan mereka bukanlah tipologi generasi sekolahan atau pendidikan tinggi yang manja dan anut grubyuk terhadap kecenderungan mainstream pola berpikir yang hingga hari ini sarat dengan bias konfirmasi. Apa itu bias konfirmasi?

Walaupun tidak secara eksplisit menyebut istilah bias konfirmasi, saat Padhangmbulan beberapa hari lalu, Cak Nun memberikan contoh yang akurat. Seorang penjual dan pembeli terlibat tawar menawar. Penjual menurunkan harga menjadi 70 ribu rupiah. Menurutnya ini harga sudah sangat “murah”. Pembeli belum bisa menerima. Ia menawar lagi hingga 50 ribu rupiah. Menurutnya 50 ribu itulah harga yang “murah”.

Penjual dan pembeli sama-sama menyebut kata “murah”, tapi niat, pengertian, maksud dan tujuan menggunakan kata “murah” berbeda, sesuai kepentingan masing-masing. Inilah bias konfirmasi itu—sebuah fakta yang dipahami secara berbeda atau cenderung disikapi secara subjektif sesuai keyakinan dan kepentingan.

“Silahkan Anda mengganti kata “murah” itu dengan NKRI, Bhineka Tunggal Ika, konstitusi, agama!” saran Cak Nun. Apa maksudnya? Semua orang, kelompok, pihak atau pemerintah menggunakan kata-kata itu, tapi dengan pengertian, maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Atau kita bisa melakukan simulasi sederhana terkait bias konfirmasi ini. Jika kita tidak percaya kepada pemerintah maka kebijakan pemerintah adalah suatu kelemahan. Namun, jika kita percaya kepada pemerintah, maka perubahan kebijakan yang sama akan kita pandang sebagai keunggulan.  

Hari ini kita tengah terjebak bias konfirmasi yang dahsyat. Kita menjadi sangat mudah digiring untuk masuk ke dalam kurungan pro dan kontra, polarisasi benere dhewe, berpikir hitam putih. Dampak yang kita terima pun tak kalah mengerikan. Pertemanan atau paseduluran bisa putus akibat bias konfirmasi saat menyikapi fakta tertentu.

Apa saja yang dilakukan, tidak ada benarnya. Berdiri, miring ke kanan miring ke kiri, terbanting ke depan atau terjengkang ke belakang. Semua gerakan salah. Semua inisiatif mencelakakan. Segala sesuatu yang biasanya benar, menjadi tidak benar. Ketika dilakukan sesuatu yang sebenarnya salah, bisa menjadi benar. Tidak ada paramenter, logika, proporsi, teori, pengetahuan dan ilmu, yang bisa diberlakukan sebagaimana pada keadaan yang normal, ungkap Cak Nun dalam Pandhawayudha.

Saat Indonesia mengalami turbulence—bias konfirmasi yang berlangsung mencapai puncak itu, kita menyaksikan anak-anak muda duduk melingkar dan melingkari majelis ilmu. Mereka menjernihkan hati dan menata pikiran, bukan untuk memenuhi tugas dari sekolah atau menyelesaikan makalah dari kampus apalagi demi memperoleh keuntungan dari motif ekonomi dan politik. Mereka bertahan hingga menjelang shubuh karena didorong oleh naluri kesadaran untuk menemukan keseimbangan berpikir yang berpusat pada “gravitasi ubun-ubun” mereka sendiri.

Bangunan cara berpikir yang lama didekonstruksi. Kebiasaan mental “kita hanya percaya apa yang ingin kita percaya”, atau kita terlanjur memiliki kebiasaan memandang sesuatu dengan cara pandang tertentu sesuai identitas, status sosial, pekerjaan, pendidikan—yang semua itu merupakan motivasi tentang bias konfrmasi, ditata kembali. Pertanyaan yang kritis dan tepat tentang informasi dan fakta diajukan. Anak-anak muda itu melakukan safari internal sekaligus eksternal, memutar sekaligus me-linier, meluas sekaligus mendalam.

Blindspot Generasi Tua

Bagaimana kita tidak optimis menanam harapan kepada qoumun akhor Indonesia? Didera oleh persoalan korupsi yang menyerimpung “generasi tua” tidak menjadikan anak-anak muda larut dalam gelombang persoalan yang sama. Mereka justru menjadikan gurita korupsi yang membudaya itu sebagai tantangan yang harus teratasi di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun