Bergizi, lezat dan aman merupakan “tiga serangkai” yang selalu hadir pada sajian makanan atau masakan. Makanan berfungsi memberi asupan zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Makanan juga berfungsi memberi kepuasan bagi seseorang sebagai bagian dari kebutuhan pribadi dan sosial. Memperoleh dua fungsi makanan tersebut harus dipastikan aman sejak dalam memilih bahan, memasak, menyajikan hingga menikmati masakan.
Persoalan krusial muncul ketika kelezatan dan kepuasan menikmati makanan—yang sejatinya itu bersifat relatif—justru menjadi urusan primer. Orang berburu kelezatan seraya mengesampingkan fungsi kesehatan dan keamanan. Pada konteks kepentingan tertentu kelezatan makanan adalah simbol atau status sosial—bahkan tak jarang digunakan alat diplomasi politik.
Dalam skala rumah tangga pun tak jarang kita menjumpai “sesat pikir” semacam itu. Pokoke enak, yang penting lezat! Mekanisme pemberian bumbu yang dapat menguatkan rasa dan menjadi lezat diberikan secara berlebihan. Asumsi dasarnya pun juga sederhana: semakin banyak bumbu, masakan akan semakin enak dan lezat.
Monosodium Glutamate (MSG) atau yang dikenal dengan Ve-tsin, atau lidah Jawa menyebut micin, menjadi salah satu bahan penguat rasa yang sering digunakan. Ve-tsin dipilih sebagai penguat rasa karena efektif memberikan rasa gurih (umami) yang lezat dalam masakan.
Survei yang dilakukan P2MI melaporkan, konsumsi MSG di Indonesia mengalami peningkatan dari 100.568 ton pada 1998 menjadi 122.966 ton pada 2004. Konsumsi MSG terbesar digunakan oleh rumah tangga.
Sayangnya, penggunaan MSG yang dilandasi oleh “sesat pikir” atau asumsi yang tidak bijaksana, diperkuat oleh temuan survei P2MI (2008) bahwa sumber informasi dampak negatif MSG diperoleh konsumen melalui media (56%), keluarga dan teman (35%) serta dokter (9%)—menunjukkan pengetahuan masyarakat secara tepat tentang MSG masih rendah.
“Pemberitaan tentang MSG ini memang masih lebih banyak menonjolkan segi negatifnya saja,” ungkap Dr. Zainal Abidin, MH.Kes, Ketua Umum PB IDI 2012 - 2015. “Misalnya isu bahwa MSG dapat menimbulkan penyakit, keracunan, kanker dan sebagainya yang sering kali tidak diikuti oleh sebuah argumentasi ilmiah (penelitian ilmiah). Sehingga orang awam akan menyimpulkan betapa merugikannya MSG tersebut, dan menganggap bahwa MSG yang ditambahkan ke dalam makanan adalah berbahaya.”
Informasi tentang dampak negatif MSG perlu ditakar ulang. Fakta yang beredar bahwa MSG diproses melalui proses kimia bukanlah pandangan yang tepat. It is not the chemically synthesized material. MSG—hingga menjadi butiran kristal, tidak diproduksi melalui proses kimiawi. MSG diperoleh dari fermentasi mollases (tetes tebu) atau dari hidrolisis gluten jagung dan gandum. Fermentasi bukanlah proses yang asing bagi masyarakat karena fermentasi juga dilakukan untuk pembuatan tempe, oncom, tape.
Kwok menamakan gejala itu sebagai Chinese Restaurant Syndrome (CRS). Padahal dalam surat resmi yang dikirim kepada New England Journal of Medicine, Kwok tidak menyebutkan bukti bahwa gejala yang dialaminya adalah akibat dari penggunaan MSG.
Walaupun MSG telah dinyatakan aman untuk dikonsumsi oleh lembaga internasional dan tidak ada bukti ilmiah menyebabkan kematian atau sakit yang berat, fenomena pro dan kontra penggunaan MSG perlu disikapi secara adil dan bijaksana. Melakukan tabayun, verifikasi, atau bertanya kepada ahli gizi merupakan langkah tepat untuk menghindari “sesat pikir” dan informasi “hoax”.
Karena itu, persoalan keamanan pangan menjadi indikator yang paling penting dalam menentukan mutu pangan. Memutuskan keamanan MSG sebagai bahan tambahan pangan tidak hanya berdasarkan suatu laporan dari kumpulan kasus, tetapi harus dilakukan melalui penelitian yang didesain secara baik.