Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sambal Terasi dan Persatuan Bangsa

2 Februari 2017   13:02 Diperbarui: 2 Februari 2017   17:49 10286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://resephariini.com/

Kompasiana Visit Pabrik Ajinomoto. Foto: dok. pribadi
Kompasiana Visit Pabrik Ajinomoto. Foto: dok. pribadi
Mengapa hanya lima rasa dasar? Ada syarat agar masuk ke dalam salah satu rasa dasar. Pertama, hanya dapat dirasakan di lidah karena ada reseptor rasa. Kedua, saraf perasa dapat distimulasi oleh rasa tersebut. Ketiga, rasa ini dikenal oleh otak sebagai rasa yang berbeda dengan rasa yang lain. Keempat, rasa ini tidak dihasilkan dari pencampuran rasa dasar lainnya.

Apabila salah satu rasa dasar itu dihilangkan atau diberikan tidak dalam takaran yang pas akan membuat rasa masakan jadi hambar. Gak ngalor gak ngidul, kata orang Jawa. Rasa masakan pun kurang lengkap.

Terkait takaran atau porsi inilah yang kadang kita lepas kendali. Kurang garam (anyep) atau terlalu banyak garam (kasinen) adalah dua kondisi ekstrem. Maka, bersikap adil dalam memasak adalah mengolah bahan dasar rasa secara pas—tidak kurang dan tidak lebih. Keadilan itu akan membentuk harmoni rasa yang dirasakan oleh lidah secara natural.

Bukan soal harmoni rasa masakan saja—mengolah bahan dasar masakan dan menikmatinya dalam porsi dan takaran yang adil adalah sikap kunci menikmati makanan secara sehat. Adalah sunnatullah bahwa apapun yang diciptakan Tuhan memiliki kadar takaran yang sesuai. Demikian pula menikmati makanan—bukan soal nasi, gula, garam yang perlu dituding sebagai pemicu penyakit yang mematikan. Bahan-bahan dasar itu tidak berdiri sendiri. Mereka akan selalu terkait dengan sikap kita—mengkonsumsinya dalam takaran yang adil ataukah berlebih-lebihan?

Gula memang manis, tapi kalau diberikan terlalu banyak dalam secangkir teh pasti terasa pahit. Bukan gula yang harus disalahkan melainkan sikap berlebihan saat memberi gula yang perlu digugat. Kesimpulan inilah yang ditekankan oleh Dr. Annis Catur Adi sebagai sikap kunci saat memasak dan mengkonsumsi makanan. Tidak ada persoalan terkait penggunaan MSG selama diberikan dalam takaran dan porsi yang tepat.

Hari ini kita menyaksikan sikap adil itu semakin langka, baik dalam mengolah makanan hingga menyikapi berbagai persoalan yang mengepung bangsa ini. Kita perlu kembali mencermati kepekaan lidah dalam merasakan lima rasa dasar itu. Dalam skala persoalan yang lebih luas, kita perlu kembali pulang ke rumah asas dasar hidup berbangsa dan bernegara. []

Tulisan ini refleksi pribadi dari acara Kompasiana Visit Pabrik Ajinomoto Mojokerto

jagalan 02.02.17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun