Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sambal Terasi dan Persatuan Bangsa

2 Februari 2017   13:02 Diperbarui: 2 Februari 2017   17:49 10286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://resephariini.com/

Ada kesimpulan menarik yang disampaikan oleh Dr. Annis Catur Adi, ahli gizi dan dosen Universitas Airlangga Surabaya terkait pola konsumsi makanan. Kesimpulan itu diberikan sebagai penutup dari paparan tentang manfaat dan keamanan MSG pada acara Kompasiana Visit Pabrik Ajinomoto, Rabu (1/2).

Namun, kesimpulan itu akan saya sampaikan di bagian akhir tulisan ini. Saya akan “berjalan melingkar” sambil mengagumi aneka jenis makanan di bumi Nusantara. Manusia penghuni kepulauan yang dilintasi oleh garis khatulistiwa ini memang dahsyat soal meracik, meramu, meng-akal-i (dalam konotasi positif) bahan-bahan baku hingga menjadi jajanan khas. Sebut saja misalnya Rondo Royal, Rondo Kemul, Ote-ote, Tahu Brontak, Lemper, Pelikipu, Kucur.

Tentu saja kemampuan saya sangat terbatas apalagi harus menyebut jajanan khas setiap daerah. Belum lagi soal makanan khas—termasuk aneka sambal dan terasi yang digunakan, saya baru sekadar penggembira dalam tema ini.

Peran Terasi dalam Persatuan Bangsa
Aneka jajanan dan makanan boleh berbeda-beda di setiap daerah, tetapi kita disatukan oleh satu kebutuhan bahan yang sama, yaitu terasi—bahan dasar pembuatan sambal. Hingga hari ini terasi bersikap “rendah hati”. Ia dikonotasikan sebagai bahan makanan kelas bawah. Konotasi tentang terasi akan menciptakan gelembung asosiasi di atas kepala kita bahwa ia akrab dengan rakyat miskin, hidup susah, penghasilan pas-pasan. Jusru labeling itulah yang menjadikan terasi sebagai pemersatu strata lapisan masyarakat.

Terasi dikonsumsi secara lintas budaya—terasi menerobos lapisan struktur polarisasi, merobohkan sekat citra kaya dan miskin, merasuki ambisi pro dan kontra. Dua pihak yang berseteru, yang saling lapor, yang menggenggam benere dhewe akan takluk, duduk bersila, lekoh menikmati sambal terasi dengan nasi dan tempe hangat. Lebih ampuh lagi kalau sambal terasi dan tempe hangat itu dinikmati bersama sayur lodeh terong.

Di tengah suhu hangat politik hari ini, menikmati sambal terasi yang pedas bisa menjadi senam otak, rileks sejenak, atau siapa tahu terjadi pencerahan mendadak bahwa karut marut persoalan politik, ekonomi, hukum dan pendidikan di negeri ini bukan terutama disebabkan oleh “siapa yang salah”, melainkan “apa yang salah”. Katalisator perdamaian—mungkin itulah peran sambal terasi yang nyaris belum kita sadari.

Daripada eker-ekeran dan rebutan siapa yang benar, ayolah sesekali liwetan bareng—nasi panas digelar di atas daun pisan, tempe hangat bertebaran di atas nasi, sambil jangan lupa menikmati bahan makanan berbasis fermentasi udang dan ikan itu yang diuleg menjadi sambal dengan rasa pedas yang super. Rasanya belum menjadi manusia “seutuhnya” kalau kita belum ngliwet dan makan bareng.

Tidak heran, nilai bisnis terasi terus meningkat hingga rata-rata 26,7 persen setiap tahun. Penelitian MARS Indonesia mencatat, pada 2013 nilai bisnis terasi mencapai 714 miliar rupiah. Nilai bisnis yang cukup besar mengingat terasi adalah bahan makanan yang dianggap kelas rendahan.

Tak jadi soal, terasi yang bersilaturahim dengan lombok menghasilkan sejumlah kreativitas olahan sambal: sambal terasi, sambal bajak, sambal klothok, sambal tomat, sambal balado, sambal bawang, sambal erek, sambal rica-rica, sambal kepala pindang…

Budaya kuliner yang menyajikan makanan khas rakyat kecil itu kini bertebaran di sepanjang jalan. Warung dan rumah makan menciptakan “merk” berbasis terasi—refleksi tentang betapa sangat kreatif bangsa Nusantara menjalani hidup sehari-hari dengan ditemani sambal terasi. Kreativitas itu tidak muncul tiba-tiba—ketangguhan daya hidup adalah nyawa yang menggerakkan laku masak memasak dengan mendayagunakan lima rasa dasar (five basic tastes).

Kembali ke Rasa Dasar}
Katarina D. Larasati membuka Kompasiana Visit Pabrik Ajinomoto dengan paparan pembuka terkait rasa dasar itu. Lima rasa dasar yang menghasilkan taste makanan adalah manis, asin, asam, pahit, dan gurih (umami). Rasa terakhir ini ditemukan 108 tahun lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun