Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Efek Plasebo Pendidikan yang Menjadi "Candu"

26 Januari 2017   12:56 Diperbarui: 26 Januari 2017   17:14 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: arahjuang.com

Kekerasan dalam pendidikan tinggi kembali memakan korban. Memasuki awal 2017 kita disodori dua peristiwa tragis: tewasnya mahasiswa STIP Jakarta dan UII Yogyakarta. Rantai kekerasan yang terjadi pada mahasiswa dan siswa seperti lingkaran api—begitu mudah tersulut walau disebabkan oleh tindakan sepele. Kasus klithih yang melibatkan pelajar SMA di Yogyakarta seolah mengabarkan bara api marah dan dendam sedang membara dalam dada para remaja.

Kasus kekerasan antarmahasiswa dan pelajar di lingkungan pendidikan kerap terjadi dalam situasi berkelompok atau berjamaah. Orientasi siswa atau mahasiswa baru, kegiatan pendidikan dasar, latihan dasar kepemimpinan (LDK) menjadi ajang yang rentan membawa korban. Pola kepemimpinan yang diilhami oleh habitus kekerasan dan dijalankan secara turun-temurun merupakan tradisi klasik yang tidak gampang diputus. Terjadi budaya kontinuasi kekerasan sehingga senior yang sedang berkuasa akan menindas yunior.

Habitus kekerasan ini tentu tidak kasat mata, mengingat pendidikan akan selalu menawarkan visi, misi, tujuan, bahkan citra edukatif. Belum pernah ditemukan dalam modul kegiatan anjuran agar menyiksa siswa baru atau mahasiswa yunior. Tidak ada sekolah atau pendidikan tinggi yang bersikap “gila” mendidik siswa atau mahasiswa dengan cara kekerasan. Semua diawali oleh niat baik, tujuan yang mulia, metode yang jitu. Proposal kegiatan pun disusun secara sempurna.

Kekerasan yang Diwariskan

Namun, di tengah pelaksanaan kegiatan—ketika komunikasi mulai didominasi oleh stereotip sopo siro sopo ingsun—pintu kekerasan mulai terbuka. Jangankan adik-adik mahasiswa—para guru yang aktivitas mengajar mereka dipandu oleh RPP, masih sering kecolongan melakukan tindak kekerasan fisik atau nonfisik, verbal atau nonverbal. Tidak selalu memukul memang, namun seorang guru yang merendahkan harga diri siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah misalnya, telah menistakan kemanusiaan.

Perilaku kekerasan dalam pendidikan tidak berdiri sendiri dan muncul tiba-tiba. Rekaman historis kekerasan akan tampil kembali pada saat yang bersangkutan memegang kendali kekuasaan. Guru berkuasa atas murid-muridnya. Pelajar atau mahasiswa senior berkuasa atas teman-temannya yang yunior. Psikologi komunikasi yang dilambari aura kekuasaan menempatkan seseorang berada pada subjektivisme benere dewe.

Berkuasa di sini akan didukung pula oleh mekanisme atau aturan sosial tak tertulis yang membenarkan setiap tindakan dan keputusan. Nilai-nilai perilaku berserta ragam tafsir dalam kelompok sudah pasti di genggaman tangan mereka yang berkuasa.

Stereotip sopo siro sopo ingsun: yang berkuasa menindas pihak yang dikuasai, dalam berbagai aspek dan dimensi, tak terhindarkan lagi. Pintu dialogis tertutup. Kesejajaran komunikasi diganti strukturalisme sepihak. Seorang guru berada pada posisi pasti benar dan siswa pasti pada posisi salah; senior pasti benar dan yunior pasti salah. Benar dan salah ini akan diikuti pula oleh misalnya, yang baik pasti milik guru atau senior sedangkan yang buruk pasti milik siswa atau yunior.

Efek Plasebo dalam "Teater" Pendidikan 

Akar dari semua itu adalah sistem keyakinan yang berkembang dan tumbuh dalam alam pikiran, diwariskan secara turun-temurun, direkam oleh bawah sadar. Sistem keyakinan ini menjadi kesadaran kolektif—ditularkan melalui mekanisme sistem belajar yang diselenggarakan secara kolektif pula.

Sistem keyakinan itu dipentaskan melalui teater pendidikan lengkap dengan adegan, latar, dan kostum yang digerakkan oleh habitus kekerasan, baik secara terang-terangan, tersembunyi hingga doktrin tentang dalil-dalil absurd atas nama sukse masa depan. 

Dunia kedokteran menyebut teater penyembuhan berbasis keyakinan itu dengan istilah efek plasebo. Para ilmuwan sudah tahu tentang efek plasebo selama berpuluh-puluh tahun dan telah menggunakannya sebagai kontrol dalam uji coba obat. Kini, mereka menggunakan plasebo untuk meneliti mekanisme zat kimia saraf yang menghubungkan pikiran dengan tubuh, keyakinan dengan pengalaman.

Sebagaimana pertunjukan bagus di teater dapat melibatkan kita sampai kita merasa seperti menonton sesuatu yang nyata, teater pendidikan dirancang untuk melibatkan kita dengan cara menciptakan harapan yang kuat di otak kita. Sekolah dan pendidikan tinggi diyakini sebagai jalan satu-satunya, dan dengan demikian tertutup jalan lain, untuk meraih masa depan yang lebih baik. Yang dimaksud wajib belajar adalah wajib sekolah.

Pendidikan yang sejatinya menjadi pilar untuk menegakkan asas hidup yang adil dan beradab dirancang untuk memproduksi ambtenaar yang eksis, kaya, dan berkuasa. Harapan itu dipentaskan, diteaterkan, disuntikkan melalui kelas pembelajaran, kegiatan LDK, pendidikan kilat (diklat), orientasi siswa atau mahasiswa baru, hingga grudak-gruduk paguyuban orang tua siswa yang kadang tidak ada urusannya dengan pendidikan.

Plasebo sekolah mahal lebih manjur daripada yang murah. Plasebo sekolah yang menampilkan teaterikal fasilitas mewah, jalanan macet oleh mobil orangtua yang menjemput anaknya, biaya sekolah yang selangit lebih manjur daripada “sekolah generik”. Tampaknya proses belajar “palsu” itu lebih ampuh dan menjanjikan.

Pernak-pernik instrumen sekunder dalam pendidikan lebih manjur membentuk keyakinan bahwa sekolah adalah alat komoditas. Adapun pengalaman siswa belajar di-plasebo sedemikian rupa bahwa dirinya lebih unggul, lebih hebat, lebih pandai daripada anak-anak yang lain.

Memutus Habitus Kekerasan

Alih-alih siswa diajak untuk menemukan dirinya yang otentik, efek plasebo itu dijalankan dengan cara menaklukkan siswa. Kegiatan “mendidik” berlangsung dalam frame keyakinan bahwa siswa adalah pembangkang. Pendisiplinan melalui kekerasan, keberhasilan yang dicirikan melalui kepatuhan dan konformitas peserta didik pada perspektif dan sikap yang dianggap benar oleh guru/dosen/instruktur.

Sayangnya, efek plasebo dalam pendidikan kerap menjadi “candu”—berbeda dengan penyembuhan berbasis keyakinan yang diterapkan pada kedokteran. Menurut Tanya Luhrmann, ahli antropologi di Stanford University, penyembuhan berbasis keyakinan tidak hanya memerlukan cerita yang bagus, tetapi juga upaya dari pendengar yang aktif—yang mampu mewujudkan bayangan pikiran hingga terasa nyata. Saat cerita dan imajinasi selaras, hasilnya kadang mencengangkan. “Manusia memiliki kemampuan untuk mengubah pengalamannya,” katanya. “Ini keterampilan, dan dapat dipelajari.”

Efek plasebo dalam pendidikan justru menyuntikkan pengalaman kekerasan ke alam bawah sadar peserta didik. Maraknya berita hoax, perilaku intoleransi, jamaah korupsi dan pungli, konotasi “babu” yang didenotasi—semua produk perilaku yang mencerminkan keadaan “Bangsa Yatim Piatu” itu merupakan “buah” dari pohon yang akarnya adalah kekerasan dalam efek plasebo pendidikan.

Tidak mudah membongkar habitus efek plasebo itu. Kita perlu meninjau dan mendaur ulang sistem dan model pendidikan nasional. Bukan selalu mengandalkan budaya adopsi dari luar, tetapi melihat kembali “warisan” pendidikan khas Bangsa Indonesia, melahirkannya kembali untuk masa kini dan masa depan. Kekerasan dalam efek plasebo pendidikan itu sejatinya bukan kita.

jagalan 260117

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun