Dunia kedokteran menyebut teater penyembuhan berbasis keyakinan itu dengan istilah efek plasebo. Para ilmuwan sudah tahu tentang efek plasebo selama berpuluh-puluh tahun dan telah menggunakannya sebagai kontrol dalam uji coba obat. Kini, mereka menggunakan plasebo untuk meneliti mekanisme zat kimia saraf yang menghubungkan pikiran dengan tubuh, keyakinan dengan pengalaman.
Sebagaimana pertunjukan bagus di teater dapat melibatkan kita sampai kita merasa seperti menonton sesuatu yang nyata, teater pendidikan dirancang untuk melibatkan kita dengan cara menciptakan harapan yang kuat di otak kita. Sekolah dan pendidikan tinggi diyakini sebagai jalan satu-satunya, dan dengan demikian tertutup jalan lain, untuk meraih masa depan yang lebih baik. Yang dimaksud wajib belajar adalah wajib sekolah.
Pendidikan yang sejatinya menjadi pilar untuk menegakkan asas hidup yang adil dan beradab dirancang untuk memproduksi ambtenaar yang eksis, kaya, dan berkuasa. Harapan itu dipentaskan, diteaterkan, disuntikkan melalui kelas pembelajaran, kegiatan LDK, pendidikan kilat (diklat), orientasi siswa atau mahasiswa baru, hingga grudak-gruduk paguyuban orang tua siswa yang kadang tidak ada urusannya dengan pendidikan.
Plasebo sekolah mahal lebih manjur daripada yang murah. Plasebo sekolah yang menampilkan teaterikal fasilitas mewah, jalanan macet oleh mobil orangtua yang menjemput anaknya, biaya sekolah yang selangit lebih manjur daripada “sekolah generik”. Tampaknya proses belajar “palsu” itu lebih ampuh dan menjanjikan.
Pernak-pernik instrumen sekunder dalam pendidikan lebih manjur membentuk keyakinan bahwa sekolah adalah alat komoditas. Adapun pengalaman siswa belajar di-plasebo sedemikian rupa bahwa dirinya lebih unggul, lebih hebat, lebih pandai daripada anak-anak yang lain.
Memutus Habitus Kekerasan
Alih-alih siswa diajak untuk menemukan dirinya yang otentik, efek plasebo itu dijalankan dengan cara menaklukkan siswa. Kegiatan “mendidik” berlangsung dalam frame keyakinan bahwa siswa adalah pembangkang. Pendisiplinan melalui kekerasan, keberhasilan yang dicirikan melalui kepatuhan dan konformitas peserta didik pada perspektif dan sikap yang dianggap benar oleh guru/dosen/instruktur.
Sayangnya, efek plasebo dalam pendidikan kerap menjadi “candu”—berbeda dengan penyembuhan berbasis keyakinan yang diterapkan pada kedokteran. Menurut Tanya Luhrmann, ahli antropologi di Stanford University, penyembuhan berbasis keyakinan tidak hanya memerlukan cerita yang bagus, tetapi juga upaya dari pendengar yang aktif—yang mampu mewujudkan bayangan pikiran hingga terasa nyata. Saat cerita dan imajinasi selaras, hasilnya kadang mencengangkan. “Manusia memiliki kemampuan untuk mengubah pengalamannya,” katanya. “Ini keterampilan, dan dapat dipelajari.”
Efek plasebo dalam pendidikan justru menyuntikkan pengalaman kekerasan ke alam bawah sadar peserta didik. Maraknya berita hoax, perilaku intoleransi, jamaah korupsi dan pungli, konotasi “babu” yang didenotasi—semua produk perilaku yang mencerminkan keadaan “Bangsa Yatim Piatu” itu merupakan “buah” dari pohon yang akarnya adalah kekerasan dalam efek plasebo pendidikan.
Tidak mudah membongkar habitus efek plasebo itu. Kita perlu meninjau dan mendaur ulang sistem dan model pendidikan nasional. Bukan selalu mengandalkan budaya adopsi dari luar, tetapi melihat kembali “warisan” pendidikan khas Bangsa Indonesia, melahirkannya kembali untuk masa kini dan masa depan. Kekerasan dalam efek plasebo pendidikan itu sejatinya bukan kita.
jagalan 260117