Tambal Sulam
Tidak heran apabila model pelaksanaan UN 2017 tingkat SMA adalah hasil tambal sulam—keputusan yang mengacaukan logika sistem pembelajaran yang menyodorkan pilihan di saat injury time. Padahal ujian akhir yang diniatkan untuk pemetaan kualitas belajar seharusnya terintegrasi secara total dengan sistem dan model belajar.
Klaim bahwa UN 2017 akan lebih praktis, efisien, dan tidak menimbulkan ekses negatif memang akan tercapai dari sisi teknis pelaksanaan. Namun, dalam konteks kebutuhan belajar beban tetap berada di pundak siswa bahkan cenderung bertambah. Memakai simulasi sederhana, materi UN jurusan IPA misalnya, memang berkurang dari enam mapel menjadi empat mapel. Tapi, tiga mapel khas jurusan masing-masing tetap diujikan di USBN. Praktis tidak ada pengurangan mapel—bahkan siswa harus mempersiapkan satu mapel pilihan untuk UN.
Satu catatan lagi, sistem dan model pendidikan nasional memang belepotan oleh “sejarah adopsi” daripada menekuni “sejarah kontinuasi”. Kita tidak mengkreatifi kemungkinan formula yang otentik hasil karya kita sendiri yang merupakan kontinuitas-kreatif dari apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita, ungkap Cak Nun dalam Bangsa Yatim Piatu. Namun ini tema lain yang semoga kapan-kapan bisa kita diskusikan pada tulisan yang berbeda.
Nyicil sedikit, satu pertanyaan terkait sejarah kontinuasi itu. Mengapa kita tidak mengelaborasi, meneruskan ide dan gagasan pendidikan Ki Hadjar Dewantara, misalnya tentang pendidik tidak bisa merubah jagung menjadi padi, lalu kita temukan “nyawa” filosofinya dalam praktek pendidikan modern untuk Indonesia masa kini dan masa depan? Sudahkan pendidikan kita menghasilkan manusia yang adil dan beradab?
Salam
jagalan 230117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H