Salah satu bentuk “keberhasilan” manusia modern menjalani kehidupan adalah terciptanya ketimpangan demi ketimpangan—setiap pencapaian mengantarkan pelaku pada kondisi ekstrim. Ibarat rentang bilangan yang berpusat pada angka nol, kehidupan di zaman ini akan menyeret kita bergeser atau bahkan terlempar ke deret positif atau negatif. Yang merasa optimis akan diharubiru oleh optimisme. Yang merasa pesimis akan dicengkeran oleh pesimisme. Demikian seterusnya hingga nyaris tidak tersedia ruang keseimbangan yang menjadi pusat kesadaran.
Individu, jamaah, lembaga, institusi, hingga negara akan selalu berkutat mengatasi ketidakseimbangan serupa “lingkaran setan” ini. Mulai hulu sampai hilir persoalan telah tertanam bibit ketimpangan dan diakari oleh paradigma yang belum sepenuhnya beres.
Ketimpangan paling gamblang misalnya terjadi pada penggunaan kata yang tidak pernah dicermati secara serius. Kata “lapar” misalnya, akan selalu menjadi hantu menakutkan. Kita bekerja siang malam, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, hingga manusia kok mencuri merupakan bukti kegagalan memahami makna dan pengertian “lapar”.
Dalam pengertian denotatif “lapar” menjadi tanda bahwa perut perlu diisi makanan. Begitu rasa lapar teratasi, stop makan! Sederhana bukan? Sangat-sangat sederhana—sesederhana jenis dan kuantitas makanan yang kita santap, karena aktivitas makan sejatinya bukan untuk mencapai rasa kenyang. Sebelum kenyang pun—ketika lapar telah pergi—kita berhenti makan. Batasan denotatif yang diberangkatkan oleh rasa lapar sebenarnya cukup gamblang dan terukur.
Namun, persoalan lapar, makan, dan kenyang tidak semudah itu diselesaikan. Hidup di alam denotatif terasa membosankan. Standar batasan yang mensyaratkan keseimbangan diterjang oleh nafsu konotatif. Rasa lapar bukan sekadar rasa lapar—ia adalah selera kuliner, gaya hidup, status sosial, citra sukses, lobi politik, negoisasi kekuasaan. Ketika kita harus menerapkan batas keseimbangan, kita menerjanganya. Pada saat harus menerapkan kebebasan, kita minta dibatasi. Hidup jadi kewolak-walik, terbalik-balik.
Diabetes yang Mengintai
Sadar batas keseimbangan ini menjadi problem serius yang dialami oleh hampir setiap manusia zaman ini. Siapa tidak ingin hidup makmur sejahtera? Bahkan standar hidup makmur sejahtera itu kini menjadi gumpalan-gumpalan, yaitu eksis, kaya, berkuasa. Rumus kemakmuran yang menggumpal itu sebenarnya sudah bermasalah dan mengganggu keseimbangan hidup.
Di tengah jerih payah mengumpulkan gumpalan-gumpalan kekayaan dan kursi kekuasaan kita bergerak limbung. Kita menerjang batas denotatif keseimbangan rasa lapar—lapar eksistensi, lapar kekayaan, lapar kekuasaan menjelma menjadi rasa kelaparan.
Maka, pertumbuhan ekonomi sebuah negara tidak selalu menjadi kabar baik. Pertumbuhan ekonomi India melesat sejak kebijakan reformasi pasar bebas dilakukan Perdana Menteri P.V Narasimha Rao pada 1991. Pertumbuhan tahunan rata-rata 8 persen selama beberapa tahun terakhir. PDB India berkembang empat kali lipat selama lebih dari dua dekade.
Namun, hal ini menimbulkan persoalan baru: gaya hidup yang tidak sehat serta pola makan yang tidak terkontrol, memicu diabetes. Pada 2011 penderita diabetes di India telah mencapai lebih dari 50 juta orang dan angka ini diperkirakan akan meningkat sebanyak 150 persen dalam 20 tahun ke depan, demikian laporan Deutsche Welle.
Bank Dunia memperkirakan India telah kehilangan lebih dari $23 miliar per tahun untuk penyakit diabetes dan jantung koroner. Jika penyakit ini tak ada, pertumbuhan ekonomi India bisa meningkat hingga 4 persen per tahun. Kemakmuran ekonomi dibayangi oleh diabetes yang mengintai.
India masih “mendingan”. Cina menjadi negara “tuan rumah” bagi seperempat penderita diabetes di dunia. Laporan Macau Daily Times, pada 2014 menuturkan hampir 12 persen dari 100 juta orang di Cina mengidap diabetes. Bagaimana Indonesia?
Visual Interaktif Kompas (VIK) mengutip International Diabetes Federation 2015, di seluruh dunia ada 415 juta total penderita diabetes dan 10 juta di antaranya ada di Indonesia. Jumlah itu diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2040.
Musibah yang Selalu Disalahkan
Entah menjadi kebiasaan cara berpikir orang modern atau karena ketidakseimbangan yang menelikung saraf kesadaran, makanan dan penyakit selalu menjadi sasaran yang disalah-salahkan. Begitu pula banjir, tanah longsor, macet di jalan raya menjadi obyek pelampiasan yang enak untuk dimaki-maki.
Air yang menggenangi permukiman itu protes. “Mengapa saya disalahkan dan dituduh telah menyusahkan hidup manusia? Saya sekadar menjalankan perintah Tuhan agar mengalir dari dataran tinggi menuju dataran rendah. Jalan yang akan saya lewati buntu. Kemana lagi saya mengalir kalau bukan memenuhi jalan dan permukiman?” Jadi, banjir adalah “mata pandang” manusia untuk menyebut keadaan air yang menggenangi jalan dan rumah.
Demikian pula tanah longsor, polusi udara, dan penyakit. Peristiwa tidak menyenangkan itu menurut “mata pandang” manusia disebut musibah atau bencana. Padahal tanah yang melongsorkan diri, udara yang tercemar, dan penyakit yang beraksi dalam tubuh merupakan bukti kerja ketaatan mereka menjalankan perintah Tuhan.
Kita pandai mengutuk air yang mendidih tapi tidak menghitung suhu panas api di kompor. Kita pandai menyikapi peristiwa dari arah atau sudut pandang kita sendiri tapi teledor memahami dialektika sunnatullah.
Ilmu sawang-sinawang tidak laku di dunia modern karena dianggap kuno, kolot, tidak ilmiah. Hasilnya adalah ketimpangan demi ketimpangan. []
jagalan 120117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H