Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Diabetes yang Mengintai dan Sawang-sinawang yang Kuno

12 Januari 2017   23:11 Diperbarui: 13 Januari 2017   19:45 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://indrajied.blogspot.co.id

India masih “mendingan”. Cina menjadi negara “tuan rumah” bagi seperempat penderita diabetes di dunia. Laporan Macau Daily Times, pada 2014 menuturkan hampir 12 persen dari 100 juta orang di Cina mengidap diabetes. Bagaimana Indonesia?

Visual Interaktif Kompas (VIK) mengutip International Diabetes Federation 2015di seluruh dunia ada 415 juta total penderita diabetes dan 10 juta di antaranya ada di Indonesia. Jumlah itu diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2040.

Musibah yang Selalu Disalahkan

Entah menjadi kebiasaan cara berpikir orang modern atau karena ketidakseimbangan yang menelikung saraf kesadaran, makanan dan penyakit selalu menjadi sasaran yang disalah-salahkan. Begitu pula banjir, tanah longsor, macet di jalan raya menjadi obyek pelampiasan yang enak untuk dimaki-maki.

Air yang menggenangi permukiman itu protes. “Mengapa saya disalahkan dan dituduh telah menyusahkan hidup manusia? Saya sekadar menjalankan perintah Tuhan agar mengalir dari dataran tinggi menuju dataran rendah. Jalan yang akan saya lewati buntu. Kemana lagi saya mengalir kalau bukan memenuhi jalan dan permukiman?” Jadi, banjir adalah “mata pandang” manusia untuk menyebut keadaan air yang menggenangi jalan dan rumah.

Demikian pula tanah longsor, polusi udara, dan penyakit. Peristiwa tidak menyenangkan itu menurut “mata pandang” manusia disebut musibah atau bencana. Padahal tanah yang melongsorkan diri, udara yang tercemar, dan penyakit yang beraksi dalam tubuh merupakan bukti kerja ketaatan mereka menjalankan perintah Tuhan.

Kita pandai mengutuk air yang mendidih tapi tidak menghitung suhu panas api di kompor. Kita pandai menyikapi peristiwa dari arah atau sudut pandang kita sendiri tapi teledor memahami dialektika sunnatullah.

Ilmu sawang-sinawang tidak laku di dunia modern karena dianggap kuno, kolot, tidak ilmiah. Hasilnya adalah ketimpangan demi ketimpangan. []

jagalan 120117

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun