Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Waspada pada Vicarious Learning yang Ditularkan Melalui Tombol "Share"!

1 Januari 2017   22:43 Diperbarui: 2 Januari 2017   12:49 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: id-pemula.blogspot.co.id

Kasus pembunuhan Pulomas menyisakan kecemasan. Foto sadis korban pembunuhan berseliweran di linimasa. Maksud hati ingin berbagi kewaspadaan dan mengetuk rasa empati—yang terjadi justru sebaliknya. Foto-foto sadis itu mengendap di sel-sel otak, menjadi hantu yang menyeramkan.

Kekejaman perilaku kekerasan atau pembunuhan tidak perlu dipertontonkan apalagi diperkuat oleh foto-foto sadis. Sejatinya publik tidak memerlukan foto-foto itu, karena kabar sebelas orang yang disekap hingga enam orang di antaranya meninggal dunia, diduga kehabisan oksigen—tanpa perlu diperlihatkan foto-fotonya—sudah sangat menyayat dan melukai rasa kemanusiaan. Naluri welas asih pasti akan muncul. Perasaan takut akan menekan emosi. Manusia normal dan waras pasti merasa miris walaupun yang tiba padanya “hanya” kabar atau berita.

Membagikan foto-foto sadis jelas bukan tindakan yang etis dilakukan. Kesembronoan ini menunjukkan kita sedang tidak menghitung keberadaan keluarga korban. Walaupun kita tidak kenal mereka, tata krama keadaban sesama makhluk Tuhan wajib dipelihara. Bersikap toleran dan berbudi baik seperti ini tidak perlu dibacakan dalil atau ayat dari Tuhan, karena nurani ini sudah tertanam secara laten dalam jiwa kesadaran setiap manusia.

Mengusap harkat kelembutan yang menjadi naluri setiap manusia tidak memerlukan bukti nyata misalnya foto-foto kekerasan dan pembuhuhan. Hal ini tentu berbeda bagi pihak berwenang yang menjalankan fungsi dan tugasnya. Mereka bahkan harus “menyentuh” langsung keadaan dan kondisi korban. Namun, detail foto sadis itu tidak diperlukan oleh publik. Foto-foto kekerasan itu akan mengendap di dasar kesadaran dan pada saat tertentu seolah-olah sangat nyata di depan mata.

Itulah vicarious learning—yaitu kemampuan untuk memproses gambar dan cerita (dalam buku, foto atau video) seolah-olah sangat nyata kita alami. Di tengah ruang dan waktu yang terguncang oleh peristiwa tak beradab itu, akal waras kita benar-benar dipertaruhkan. Kita perlu berpikir panjang dan matang sebelum memencet tombol “bagikan”. Seandaninya setiap orang ringan jari mengklik tombol itu, foto-foto sadis akan menjadi teror dalam sunyi. Satu kali “klik” bagaikan hujan peluru yang pelan tapi pasti akan “membunuh” rasa empati dan akal waras. Mengapa ini bisa terjadi?

Dampak negatif vicarious learning yang memproses gambar, foto, atau video sadis perkosaan dan pembunuhan lebih dominan. Tidak jarang hal ini membuat trauma—mimpi buruk, tiba-tiba cemas, takut yang berlebihan dan sejumlah risiko negatif kejiwaan yang lain.

Apabila niat kita membagikan foto sadis di media sosial adalah untuk mengingatkan agar publik waspada atau berempati terhadap keluarga, kewaspadaan dan empati macam apa yang sedang ingin kita tularkan? Kecemasan akan semakin meluas, menerobos pertahanan akal waras setiap manusia melalui dorongan “nafsu-viral” yang gampang menjangkiti pengguna media sosial.

Sikap empati justru ngedrop karena membagikan foto-foto sadis korban pemerkosaan, pembunuhan, dan tindak kekejaman merupakan nir-empati dari diri sendiri, lalu meluas dan membawa dampak yang sama pada orang lain. Mengajak orang lain bersimpati kepada keluarga korban itu baik, namun harus ditempuh dengan cara yang bijak dan beradab.

Motif yang tidak didasari pemikiran panjang dan dewasa itu membawa dampak negatif yang kerap tidak disadari, baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Unggahan foto atau video yang mungkin dimaksudkan untuk mengajak orang lain bersimpati, waspada, hati-hati justru berdampak buruk bagi yang melihat.

Semakin sering terpapar oleh tayangan negatif, misalnya video perundungan antara remaja yang menjadi viral—akan membuat perilaku negatif itu dianggap biasa, wajar, dan lumrah. Standar moral menjadi luntur. Empati menurun. Kewaspadaan menjadi longgar. Bahaya—sangat-sangat berbahaya apabila tindak kekerasan dianggap wajar. Virus perilaku negatif itu tanpa disadari telah menetas dalam jiwa. Tidak butuh waktu lama untuk beranak pinak melahirkan kekerasan yang sama. Ah, betapa miris dampak dari sikap sembrono menekan tombol “berbagi”.

Memutus rantai penyebaran foto dan video kekerasan adalah cara paling ampuh. Segera hapus dan jangan disebarkan! Dengan menjaga diri sendiri kita akan turut menyelamatkan jutaan orang. Kita berdaulat penuh untuk tidak menjadi bagian dari rantai nafsu viral yang meneror banyak orang.

Jadi, berhati-hatilah dengan tombol “share” di ponsel. Teknologi dan informasi boleh bergerak cepat, namun kita harus matang dalam berpikir dan bersikap karena sekali saja sembrono meng-klik tombol “share”, kebencian, intoleransi, kekejaman menjadi banjir bandang yang meruntuhkan pilar-pilar harkat kemanusiaan jutaan manusia. 

Saya pikir, inilah resolusi beradab memasuki hari pertama tahun baru 2017. []

Salam

Jagalan, 1117

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun