Saya jatuh cinta membaca karya fiksi terutama sejak mengenal cerita pendek Seno Gumira Ajidarma. Kumpulan cerpen Seno nangkrik di jajaran koleksi buku yang paling saya gemari. Pelajaran Mengarang yang menjadi cerpen pilihan terbaik Kompas menurut saya adalah cerita pendek paling gila—struktur dan logika cerita sederhana saja, namun menyimpan muatan problem psikologi, sosial, ekonomi, agama, pendidikan yang kompleks. Cerpen tersebut diakhiri cukup oleh sikap polos Sandra yang menulis, “Ibuku seorang pelacur…”
Kilatan kejadian demi kejadian sang ibu beraksi menjelma benang ruwet yang tidak mudah diurai. Sekadar menulis kalimat pembuka Sandra dihadang kesulitan luar biasa. Ia tidak tahu harus menulis apa dan dimulai dari mana. Kesulitan yang khas dihadapi oleh Sandra-Sandra lain di bangku formal sekolah.
Literasi Karya Fiksi
Hingga hari ini budaya menulis dan membaca yang menjadi pondasi budaya literasi dan masih rubuh-rubuh gedang justru diterjang oleh badai “pelacuran” kabar hoax yang bergentayangan di media sosial. Publik yang merem literasi akan dikacaukan struktur berpikir mereka. Dan karya fiksi merupakan salah satu scan virus yang lumayan ampuh menata kembali kekacauan berpikir itu.
Mengutip hasil jajak pendapat Kompas, di tengah budaya membaca yang "luruh kuncup sebelum berkembang", oase kesejukan muncul dari minat masyarakat dalam membaca fiksi. 72 persen publik menyukai membaca karya fiksi. Publik juga menunjukkan minat yang signifikan untuk mendatangi pameran buku, baik yang berskala nasional maupun internasional. Hasil ini menjadi tanda bahwa motivasi masyarakat untuk membaca secara serius masih ada.
Buku fiksi menempati posisi kedua dari daftar buku yang diminati masyarakat. Dari data terakhir (2014) yang dirilis Ikatan Penerbit Indonesia, fiksi menguasai 13 persen pangsa pasar bersaing dengan sepuluh genre buku lain. Bacaan fiksi sendiri dapat berupa puisi, novel remaja, novel dewasa, kumpulan cerita pendek, ataupun cerita fantasi ilmiah.
Ketertarikan publik membaca karya fiksi lebih banyak ditentukan oleh konten dan tema cerita. Judul sebuah karya fiksi lebih menarik minat baca daripada nama penulis, ulasan karya, maupun harga buku. Penulis fiksi yang belum memiliki nama besar memiliki peluang yang cukup besar. Bukunya bisa laris manis terjual. Laku tidaknya sebuah buku fiksi tidak melulu bergantung pada ketenaran penulis ataupun harga yang murah.
Keadaan tersebut jangan sampai layu sebelum berkembang. Karya fiksi memiliki ruang eksplorasi yang luas terkait minat baca masyarakat. Diawali oleh tumbuhnya minat membaca karya fiksi, fenomena ini tidak ditelantarkan begitu saja. Gayung harus bersambut—minat menulis pun seyogyanya ditumbuhkembangkan pula.
Gemar membaca buku-buku fiksi yang bergizi akan membentuk pola berpikir, struktur berpikir, cara berpikir, sudut pandang berpikir—bahkan menurut hasil studi dari Universitas Emory, Atlanta, AS, membaca fiksi dapat meningkatkan ketrampilan sosial menjadi baik dan secara temporer meningkatkan kemampuan untuk berimajinasi dan memahami kondisi-kondisi orang lain, merupakan dunia dalam kepala. Hanya pemiliki dunia dalam kepala itu yang tahu. Karena itu, dunia dalam kepala perlu dilahirkan dalam bentuk karya tulis, fiksi maupun non fiksi.
Diterjang Banjir Bandang Distraksi
Sumulasi sederhana yang bisa diambil adalah membaca akan membentuk kerangka berpikir dunia dalam kepala, menulis akan melahirkan bayi dunia dalam kepala itu menjadi karya nyata dan struktur berpikirnya kasat mata.
Proses simulasi tersebut memang tidak gampang dan ringkas. Menyadari tidak ada proses singkat dan instan untuk memetik buah dari membaca dan menulis pada akhirnya mendorong kita agar memiliki stamina yang prima—stamina berkarya dalam rentang waktu berjangka panjang. Sedangkan persoalan paling krusial yang melanda generasi digital natives (usia 17-25 tahun), salah satunya adalah stamina belajar yang gampang loyo.
Mengapa krusial? Selain pasti dipicu oleh struktur berpikir yang amburadul itu sendiri, faktor pola pendidikan di sekolah yang masih terpenjara oleh tradisi materialisme, maupun serbuan digitalisasi media sosial yang tidak memberi kesempatan bernafas untuk menatap wajah diri—tren globalisasi yang menawarkan percepatan dan kecepatan yang tidak selalu menjamin akurasi, presisi, dan validasi telah menjadi “agama” pada abad ini.
Gerakan melek literasi akan berhadapan dengan arus global wadagisme yang menyembah penampilan kasat mata. Akar esensialisme kegiatan membaca dan menulis diterjang banjir bandang nafsu ingin cepat menuai hasil. Literasi—jujur perlu diakui—bukan gerakan yang seksi di tengah kebiasaan membaca pesan singkat dari media sosial seperti Whatsapp Messenger dan Twitter.
Namun, optimisme gerakan melek literasi tidak boleh padam. Respons publik yang cukup baik seputar dunia perbukuan adalah obor untuk menjaga optimisme perjuangan meningkatkan daya literasi masyarakat. Gerakan melek literasi lewat karya-karya fiksi menumbuhkan semangat dan optimisme baru. Para aktor produktif seperti penggerak literasi, penulis, penerbit, distributor, ditambah dukungan pemerintah yang menciptakan iklim kreatif di sekolah dengan regulasi pendidikan yang tidak mengandalkan formalisme struktural menyalakan obor optimisme tersebut.
Dahsyatnya distraksi yang ditimbulkan oleh perkembangan media digital saat ini mengajak kita benar-benar ngopeni akar gerakan melek literasi, menyirami, memupuk, dan menjaganya. Melakukan semua itu bisa dimulai dari gerakan nano—kecil, sederhana, bersahaja di keluarga atau di lingkungan pengabdian kita masing-masing. Selamat ber-nano, Kawan. []
rumah ngaji 161216
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H