Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengeksplorasi Karya Fiksi dan Gerakan Melek Literasi

16 Desember 2016   15:57 Diperbarui: 16 Desember 2016   18:08 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://basabasi.co/

Proses simulasi tersebut memang tidak gampang dan ringkas. Menyadari tidak ada proses singkat dan instan untuk memetik buah dari membaca dan menulis pada akhirnya mendorong kita agar memiliki stamina yang prima—stamina berkarya dalam rentang waktu berjangka panjang. Sedangkan persoalan paling krusial yang melanda generasi digital natives (usia 17-25 tahun), salah satunya adalah stamina belajar yang gampang loyo.

Mengapa krusial? Selain pasti dipicu oleh struktur berpikir yang amburadul itu sendiri, faktor pola pendidikan di sekolah yang masih terpenjara oleh tradisi materialisme, maupun serbuan digitalisasi media sosial yang tidak memberi kesempatan bernafas untuk menatap wajah diri—tren globalisasi yang menawarkan percepatan dan kecepatan yang tidak selalu menjamin akurasi, presisi, dan validasi telah menjadi “agama” pada abad ini.

Gerakan melek literasi akan berhadapan dengan arus global wadagisme yang menyembah penampilan kasat mata. Akar esensialisme kegiatan membaca dan menulis diterjang banjir bandang nafsu ingin cepat menuai hasil. Literasi—jujur perlu diakui—bukan gerakan yang seksi di tengah kebiasaan membaca pesan singkat dari media sosial seperti Whatsapp Messenger dan Twitter.

Namun, optimisme gerakan melek literasi tidak boleh padam. Respons publik yang cukup baik seputar dunia perbukuan adalah obor untuk menjaga optimisme perjuangan meningkatkan daya literasi masyarakat. Gerakan melek literasi lewat karya-karya fiksi menumbuhkan semangat dan optimisme baru. Para aktor produktif seperti penggerak literasi, penulis, penerbit, distributor, ditambah dukungan pemerintah yang menciptakan iklim kreatif di sekolah dengan regulasi pendidikan yang tidak mengandalkan formalisme struktural menyalakan obor optimisme tersebut.

Dahsyatnya distraksi yang ditimbulkan oleh perkembangan media digital saat ini mengajak kita benar-benar ngopeni akar gerakan melek literasi, menyirami, memupuk, dan menjaganya. Melakukan semua itu bisa dimulai dari gerakan nano—kecil, sederhana, bersahaja di keluarga atau di lingkungan pengabdian kita masing-masing. Selamat ber-nano, Kawan. []

rumah ngaji 161216

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun