Jadi, hari ini Pak Jokowi mengenakan apa? Pertanyaan ini pasti tidak dilontarkan oleh para tukang becak, ibu-ibu penjual nasi pecel yang mengayuh sepeda sebelum shubuh, para penjual sayuran yang membuka lapak dagangan di pasar sejak pukul dua dinihari. Sedulur kita ini berdoa semoga dagangan hari ini laris dan membawa berkah. Muatan laba keuntungan hari ini diperoleh dengan tidak ngumbar nafsu kapitalisme. Rezeki yang berkah menjadi gondelan paling kuat agar selalu bisa bersyukur dan tersenyum.
Payung biru, jaket bomber, sandal jepit fladeo, jaket hitam yang diduga merek Nylon Jacket merupakan asesoris langit. “Barang-barang yang kita pakai setiap hari biarlah barang-barang tanah,” seloroh seorang kawan. “Barang-barang tanah bagaimana?” saya bertanya. “Tidak perlu ribut dan ribet merek apa, dipakai oleh artis atau tokoh siapa, dijual dengan harga berapa dolar—toh karena kita bukan artis dan tokoh, satuan nilai pendapatan kita bukan dolar tapi rupiah.
Itu pun rupiah dalam ratusan ribu. Kita mengenakan sandal jepit, pertama karena kita sedang butuh memakai sandal jepit. Kedua, karena yang kita miliki ya sandal jepit itu. Ketiga, ini paling pokok—di tengah keterbatasan mengikuti arus trendsetter yang tak terkejar oleh logika penghasilan setiap hari, kita makin merasa kaya karena tidak sedang berada dalam perangkap konsumerisme.”
Saya selalu kagum terhadap cara berpikir dan sikap hidup yang bersahaja, bukan karena terutama kawan saya itu seorang penjaga malam sekolah elit yang hidupnya tidak semewah para wali murid. Kekaguman saya selalu dipicu oleh ketangguhan, kegigihan, keuletan sesama rakyat kecil yang nyaris tidak merasakan kehadiran negara kecuali misalnya saat mengurus KTP.
Kendati demikian, siapakah bisa mengalahkan kecintaan dan nasionalisme kepada negeri ini melebihi rakyat kecil? Pada obrolan kelas warung kopi, nasionalisme itu mencuat di sela guyub rukun ngopi bersama. Tema obrolan diawali rasan-rasan tentang pejabat yang korupsi. Mengutuknya dengan menggunakan bahasa yang polos. Mengaitkannya dengan layanan publik di negeri ini yang tak kunjung membaik.
Laporan terbaru Ombudsman RI soal Hasil Penilaian Kepatuhan Standar Pelayanan Publik Sesuai Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Tahun 2016 mengungkapkan kepatuhan standar pelayanan publik belum maksimal.
“Hasil observasi atas ketampakan fisik atas pelayanan publik di setiap unit layanan untuk menyediakan atribut pelayanan publik menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pemerintah dan pemda terhadap standar pelayanan publik masih rendah,” kata Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai.
Di tengah layanan publik yang timpang itu, bangunan peradaban korupsi cenderung menguat. Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah deretan sejumlah kepala daerah yang mencuri uang negara. Data yang dilansir KPK per 30 Juni 2016, menunjukkan, setidaknya dalam kurun waktu 2004-2016 ada 65 kepala daerah korup yang ditangani KPK. Ini belum termasuk kasus Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman, yang baru-baru ini menjadi tersangka.
Tidak heran indeks persepsi korupsi (ICP) Indonesia hanya beranjak beberapa digit saja. Skor rata-rata ICP 43, dan skor Indonesia naik dari 34 menjadi 36. Berada di bawah skor rata-rata itu menunjukkan Indonesia berada di zona korup.
Lengkap sudah derita negeri kaya raya ini—perilaku korupsi yang beragam dari kelas kakap hingga kelas receh, pungli yang menjebak di setiap meja, layanan publik yang kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah. Bukankah semua itu merupakan bentuk penistaan terhadap amanat perjuangan para leluhur bangsa, penistaan terhadap kitab suci yang diangkat saat sumpah jabatan, dan dengan demikian penistaan terhadap Pancasila?
"Jangan ada yang dikorupsi satu rupiah pun APBN kita ini. Saya kira mekanisme pencegahan itu sudah ada. Ini mengingatkan saja karena ini duit gede banget." Pesan tegas Presiden Jokowi yang disampaikan usai penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2017, di Istana Negara, Rabu (7/12/2016) bukan sekadar pesan normatif dari seorang Presiden. Perlu kecerdasan dan kepekaan tingkat tinggi mencerna pesan Presiden, terutama penekanan pada kata “satu rupiah pun”.