Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pola Pikir dan Pilihan Kosakata

10 Desember 2016   01:01 Diperbarui: 11 Desember 2016   11:41 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dapur, kasur, sumur adalah adagium penjajahan sekaligus eksploitasi yang diselewengkan untuk memerah kaum perempuan. Tiga “ur” itu memenjara perempuan dalam kegiatan rutin harian sebagai bentuk pengabdian kepada kaum laki-laki. Dialektika yang terjalin adalah perempuan melayani laki-laki seputar wilayah masak-memasak (dapur), kebutuhan seksual (kasur), dan bersih-bersih rumah atau korah-korah (sumur).

Benih inferioritas feminin seorang perempuan ditindas untuk melayani superioritas maskulin seorang laki-laki. Dialektika struktural akan selalu menempatkan perempuan berada di bawah laki-laki. Bahkan ungkapan bijak suwargo nunut neroko katut (masuk surga itu menumpang masuk neraka ikut) menjadi bias dan dimaknai secara sewenang-wenang, demi legitimasi yang berlaku kelak hingga di akherat. Urusan surga neraka yang mutlak wewenang Tuhan itu seolah-olah didominasi juga oleh kaum laki-laki.

Penjajahan, eksploitasi, kekerasan terhadap perempuan—apapun dan bagaimanapun bentuk, modus, media, ekspresi budaya, efek psikologi dan lapisan mental yang menyertainya, mencerminkan ketimpangan keadilan yang memangsa manusia sendiri. Hubungan kemanusiaan yang tidak adil itu berawal dari tidak adanya keseimbangan cara pandang, sikap pandang, sudut pandang, materi pandang seseorang kepada diri dan sesama. Manusia sedang menjajah diri mereka sendiri.

Kekerasan terhadap perempuan adalah produk dari akar persoalan yang belum tersentuh oleh solusi yang mendasar. Kita kerap mempersoalkan “buah” kekerasan ini sebatas ruang lingkup “buah” itu sendiri seraya melupakan daun, ranting, batang, akar, dan tanah. Pohon yang berbuah eksploitasi terhadap perempuan mustahil tumbuh dan berkembang tanpa ditopang oleh akar persoalan yang sesungguhnya. Akar persoalan itu tidak tumbuh dimana-mana selain tumbuh dalam cara berpikir kita sendiri. Bagaimana hal ini dijelaskan?

Rasa Bahasa dan Mindset yang Dibelenggu
Bahasa daerah di bumi Nusantara memiliki sangat banyak kosakata. Dalam bahasa Jawa untuk menyebut “beras” kita mengenal pari, gabah, menir, beras, nasi. Atau untuk satu gerakan memukul, bahasa Jawa memiliki sejumlah ungkapan dengan rasa bahasa yang berbeda: ngeplak, ngantem, njotos, nabok, nempeleng, ngampleng, nggibeng. Nuansa semantik atau dikenal sebagai rasa bahasa sesungguhnya cukup melimpah pada kosa kata bahasa daerah. Bahasa di kepulauan Nusantara ini, semuanya memiliki rasa bahasa. Bali, Madura, Bugis, semuanya kental dengan rasa, ungkap Manu W Padmadipura Wangsawikirama, pakar bahasa-bahasa Nusantara.

Rasa bahasa itu bukan sebatas rasa pahit, manis, asam, asin—tapi sebuah penghayatan estetik yang terkandung dalam setiap kosakata. Penghayatan estetik yang merefleksikan hubungan antar kita semua di semesta ini. Di dalam estetika itu tersimpan seluruh pengetahuan: etika, moral, spiritualitas, teknologi.

Nuansa semantik satu kosakata dalam bahasa daerah bisa ditemukan sejumlah cabang-cabang akar, yang pada zamain ini dipersempit menjadi sekadar “kearifan lokal”. Padahal semantik bahasa daerah itu mengatasi “kearifan universal” karena menempatkan kedudukan manusia di tengah alam semesta pada posisinya yang hakiki. Wangsawikirama menegaskan, dalam kosakata bahasa Jawa, alam dan manusia kedudukannya sejajar atau horizontal—tidak ada subjek atau objek, tidak ada eksploitasi subjek atas objek, melainkan satu kesatuan yang utuh.

Kedudukan yang sejajar itu tercermin dari penyebutan perempuan dalam bahasa Jawa yang memiliki sejumlah kosakata: wadon (bermakna kawula atau abdi atau hamba), wanita (gabungan dari wani ditata, berani ditata dan wani nata, berani menata), estri (berasal dari kata estren yang berarti pendorong).

Setiap kosakata tersebut menunjukkan peran dan fungsi perempuan secara utuh dan padu. Kita bisa menganalisa setiap kosakata melalui kaca mata epistimologi, estetika, spritual, budaya yang pada akhirnya tidak ada benih penjajahan, eksploitasi, apalagi kekerasan yang diamanatkan oleh kosa kata tersebut.

Kalau di tengah perjalanan sejarah bangsa ini kosakata “wadon” dimaknai perempuan harus ngawula atau mengabdi kepada laki-laki tentu ada virus-mindset yang menyerang software berpikir kita.

Kolonialisme Struktur Bahasa
Orang Jawa atau suku di bumi Nusantara tidak pernah belajar kalimat. Yang diajarkan dan dipelajari adalah kosakata. Dari setiap kosa kata itu akan lahir dan terbentuk dunia-kesadaran lengkap dengan perangkat pengetahuan, teknologi, seni, religi, dan intelektual. Wadon, wanita, estri bukan hanya mengandung muatan kearifan—setiap kosakata itu memiliki muatan perangkat yang dibutuhkan untuk menjalani interaksi horisontal bersama manusia dan alam.

Masuknya kolonialisme mengubah interaksi horisontal itu. Struktur bahasa kolonial dijadikan metode untuk mempelajari bahasa Nusantara. Ada subjek-predikat-objek-keterangan. Konsep tata bahasa struktural ini secara semena-mena diadopsi ke bahasa Nusantara. Tata bahasa horisontal berubah jadi vertikal. Dalam bahasa Jawa subjek menjadi jejer, predikat wasesa, objek lisan, dan keterangan menjadi keterangan. Apa akibatnya?

“Gradasi rasa yang semula horizontal ini kemudian divertikalkan sehingga seolah jadi sangat feodal. Padahal, feodal itu kan cara Barat mengerti dunia Nusantara memakai bahasa yang mereka kenal. Mereka tidak paham dengan penghayatan estetik atas relasi antara manusia dan sesamanya serta seluruh alam ini,” ungkap Wangsawikirama.

Mindset berpikir pun turut berubah menjadi struktural: manusia adalah subjek dan alam lingkungan adalah objek. Dalam tata bahasa struktural kolonial, yang paling pokok adalah subjek predikat objek. Manusia—aku, kita, kami adalah subjek. Alam dan lingkungan adalah objek yang harus dikuasai dan dieksploitasi. Kerja menguasai alam adalah predikat.

Di tengah zaman yang dipanglimai oleh materialisme ini subjek yang mempredikati objek makin padat menggumpal. Objek bukan hanya alam dan lingkungan—apa saja di luar diri sang subjek adalah objek yang harus ditaklukkan, dikuasai, diekspolitasi. Dan subjek itu, kini, adalah aku, sehingga siapapun dan apapun di luar aku adalah objek.

Inilah akar mula kekerasan pada perempuan serta ketidakadilan yang menimpa manusia. “Makhluk feminin” yang dikonotasikan lemah menjadi katalisator penindasan yang dilakukan oleh aku “makhluk maskulin”. Hubungan antara suami, istri, dan anak adalah hubungan struktural—yang satu menguasai atau bahkan menindas yang lain. Suami (ayah) menjadi atasan istri (ibu), dan istri (ibu) menjadi atasan anak (buah hati). Ironisnya, perempuan dan anak berada pada posisi paling bawah dalam peta hubungan struktural penindasan yang lebih luas dan makro.

Three Ends yang Mengakar
Program Three Ends yang dicanangkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise, dapat dilacak akar solusinya melalui kearifan universal bangsa Indonesia. Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengakhiri perdagangan orang, dan mengakhiri ketidakadilan akses ekonomi terhadap perempuan—maaf, tidak sekadar menjalankan kampanye atau gerakan yang berputar-putar di wilayah permukaan.

Kita membutuhkan gerakan yang lebih mendalam, mengakar, menemukan kembali mindset jati diri kita sebagai bangsa Nusantara. Sustainable Development Goals dari PBB, yang salah satu indikator kesejahteraan negara adalah kesetaraan gender adalah satu "petak sawah" di tengah sawah menghampar yang relasi horisontal itu telah hilang. Jangankan kesetaraan gender dalam lingkup interaksi yang sempit—bahkan hubungan yang lebih luas dengan sesama manusia dan alam semesta kita ini sesungguhnya setara.

Lebih gamblang lagi, apa yang ingin diakhiri oleh Three Ends merupakan produk dari cara berpikir struktural yang menghasilkan penindasan dan kekerasan yang disubjeki oleh kita sendiri. Padahal ini bukan jati diri bangsa kita.

Alangkah elok kalau Three Ends selain menjadi tekad kita bersama untuk memperlakukan perempuan dan anak secara lebih adil dan beradab juga menjadi titik tolak untuk menemukan kembali akar diri bangsa kita sendiri. Kalau tidak ada yang peduli dengan akar diri bangsa ini, kita tidak akan memiliki identitas. Kalau identitas saja kita tidak punya, bagaimana akan menentukan arah tujuan? []

rumah ngaji 91216

Achmad Saifullah Syahid (Facebook | Twitter)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun