Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Scared Straight

8 Desember 2016   01:13 Diperbarui: 8 Desember 2016   02:33 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada pembukaan Kongres XXI Persatuan Tamansiswa, di Yogyakarta, Selasa (6/12/2016), Mendikbud Muhadjir dalam sambutannya menyampaikan: "Saya juga sudah cek di lapangan, bahwa kecurangan dalam pelaksanaan UN di sekolah pelakunya adalah guru di sekolah tersebut." Muhadjir bertekad kecurangan itu harus dihentikan sekarang juga. “Inilah tugas dan tekad saya sebagai Mendikbud,” tegas dia.

Kita tidak sedang menutup mata bahwa kecurangan selama pelaksanaan Ujian Nasional tidak hanya melibatkan guru. Ibarat rantai makanan, guru adalah satu dari sekian rantai yang saling terikat dan mengikatkan diri dengan rantai yang lain. Rantai makanan itu terjalin sesuai skala kepentingan setiap pihak.

Kecurangan pelaksanaan Ujian Nasional tidak berdiri sendiri dan terjadi secara tiba-tiba. Guru dan pengawas UN tidak serta merta bersepakat untuk tidak jujur. Atmosfer yang tidak jujur dihembuskan jauh sebelum hari pelaksanaan ujian. Pendidikan yang mengedepankan wacana akademik dengan pamrih kepentingan politik pendidikan, perangkat hukum, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, hawa psikologis tekanan dari dinas pendidikan setempat, tuntutan kepala sekolah dan wali murid, gengsi dan status sekolah, serta berbagai faktor yang tidak kasat mata mengatmosfiri kecurangan demi kecurangan.

Atmosfer yang tidak jujur bagaikan partikel udara—memenuhi paru-paru, mengalir di aliran darah, mengendap di otak, menggerakkan saraf-saraf berpikir, membentuk perilaku bersama yang saling paham dan saling mengerti. Dalam rangka menjalankan “pengabdian” kepada atasan, Kepala sekolah dan pengawas UN sudah “klik” untuk memberi kesempatan kepada peserta UN bekerja sama, saling tukar jawaban, tolong menolong dalam “kebaikan”—asal suasana ujian tetap tenang.

Di tengah atmosfer tolong menolong dalam “kebaikan” itu guru terpojok sebagai pelaku utama kecurangan pelaksanaan UN. Tudingan yang benar-benar paradoks dengan “kemuliaan” guru yang dielu-elukan saat Hari Guru Nasional beberapa waktu lalu. Paradoksal ini mencerminkan tidak ada lagi “bunyan” atau bangunan berpikir yang cetho—absurd, jumbuh, campur aduk sehingga setiap persoalan kehilangan konteks dan strukturnya. Sebuah keputusan cukup didasarkan pada asumsi.

Scared Straight dan USBN

Tahun 1970-an Amerika Serikat pernah dilanda wabah kriminalitas. Narkoba, pencurian, kekerasan menggila. Di negara bagian New Jersey polisi sudah kualahan. Dicarilah cara untuk menanggulangi wabah tersebut terutama bagi remaja yang nakal. Pihak berwenang lantas mengajak para remaja nakal itu berkunjung ke penjara Rahway State. Tujuannya adalah menunjukkan kehidupan dalam penjara yang keras dan tidak beradab itu. Diharapkan ada efek traumatis pada diri remaja itu sehingga mereka takut berbuat kriminal karena penjara yang kejam telah menunggu.

Program itu diberi nama Scared Straight.Beberapa negara mengadopsi program tersebut. Program yang cukup populer dan murah itu tidak ada yang mengkaji apakah benar-benar berguna. Namun akhirnya pada tahun 1982, sebuah studi lanjutan tentang kaum muda mengungkapkan kebenaran: program itu bukan hanya gagal mengurangi kemungkinan mereka terlibat kriminalitas, bahkan sebaliknya, meningkatkan tindak kriminalitas.

Scared Straight adalah program yang memukul balik. Diterapkan begitu saja tanpa kajian yang komprehensif sehingga struktur persoalan yang sebenarnya luput. Alih-alih memberi efek traumatis—para remaja itu seperti sedang ditantang untuk menaklukkan kehidupan dalam penjara.

Saya mencium aroma Scared Straight pada pernyataan Mendikbud Muhadjir. Moratorium UN akan mengikis kecurangan guru. Benarkah hal itu akan terjadi? Selama akar penyebab “kriminalitas” dan “penistaan” terhadap hakekat pendidikan belum teratasi, kecurangan dalam skala luas akan terus menjadi wajah utama pendidikan nasional.

Bukan pesimisme yang sedang saya anjurkan, melainkan menyelesaikan persoalan secara scared straight atau dalam khasanah Jawa digambarkan melalui tembang E, Dayohe Teko, akan memicu keberanian menanggung risiko negatif dan memicu persoalan baru yang tak kalah pelik dan runyam.

Siapa akan menjamin bahwa sekolah tidak merasa tertantang untuk meng-akal-i Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) supaya sesuai standar yang ditetapkan. Mempertahankan gengsi, image, citra sebagai sekolah yang diunggulkan dalam beberapa kasus mengalahkan moralitas hakekat pendidikan.

Hati-Hati dengan Bias Konformitas!

Ketika kita berjumpa seseorang yang kakinya pincang, lalu kita berkata jujur, “Hai, orang pincang!” adalah penghinaan. Bahkan berbuat jujur pun memiliki konteks ruang dan waktu. Menimpakan ketidakjujuran pada guru di tengah pelaksanaan Ujian Nasional yang “pincang” itu merupakan kejujuran yang terlalu jujur. Labelisasi itu tentu tidak berlaku untuk setiap guru. Namun, generalisasi ketidakjujuran bukan hanya memicu scared straight dan kontra produktif bagi upaya penegakan kejujuran itu sendiri. Bias konformitas pun menjadi terbalik.

Generalisasi yang bermuatan negatif ini sungguh sembrono, mengingat akan tersisa guru yang benar-benar jujur dalam jumlah relatif sedikit. Bias konformitas akan merespon balik: perasaan takut berbeda dari kebanyakan orang. Mereka yang jujur akan tertekan karena tidak dalam satu jamaah ketidakjujuran. Mempertahankan pilihan yang berbeda dengan mayoritas bukan hal mudah. Pragmatisme menjadi jalan keluar. Ndak apa-apa berbuat curang asal dikerjakan secara berjamaah.

Kalimat yang tidak sampai satu paragraf ternyata membuahkan scared straight dan bias konformitas yang berbalik arah.

Sayangnya, data dan bukti kecurangan guru secara nasional belum pernah dirilis. Anies Baswedan pernah menerapkan Indeks Kejujuran. Kabarnya indeks kejujuran itu meningkat. Artinya, tidak semua guru curang. Peluang kejujuran ini mengapa tidak dinarasikan misalnya, “Sembilan dari sepuluh guru berbuat jujur.” Bias konformitas akan memojokkan mereka yang tidak jujur.

Cara berpikir kita memang seperti selimut—tidak jelas mana lengan mana saku. []

rumah ngaji 71216

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun