Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Lubang Semut

5 Desember 2016   23:28 Diperbarui: 6 Desember 2016   17:56 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Minggu, 4 Desember lalu saya diberi kesempatan kesekian kali bertemu dengan para guru di dusun Bajulmati desa Gajahrejo Kec. Gedangan Kab. Malang. Acara bertajuk Sinau Bareng Mendidik Anak itu juga dihadiri orangtua dan para guru dari desa sekitar Gajahrejo. Suasana makin meriah oleh canda tawa anak-anak PAUD Bina Harapan Bajulmati.

Acara dibuka oleh Mahbub Junaidi, Ketua Lembaga Pendidikan Sosial Harapan Bajulmati. Mahbub menyampaikan, dusun Bajulmati hingga sekarang selalu dikesankan sebagai wilayah tertinggal. Kendati demikian warga dusun Bajulmati tidak patah arang. Mereka terus bergerak memberdayakan diri. PAUD, TK, dan sekolah dasar telah berdiri. Tidak ketinggalan Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) juga ada. Bukan hanya itu. Kesadaran warga Bajulmati untuk merawat dan melestarikan lingkungan semakin terlihat. Mangrovisasi menjadi salah satu primadona upaya pelestarian lingkungan.

Merdesa di Dusun Bajulmati

Pagi itu di gedung sederhana PAUD Bina harapan saya menyaksikan wajah-wajah yang sumringah. Setiap orang rela untuk berbagi walau hanya dengan senyuman yang tulus.

Sinau Bareng Mendidik Anak berjalan gayeng. Mengalir bersama canda, guyon, sanepan dengan tetap menjaga kedalaman pada materi utama. Keakraban yang terjalin itu saya rasakan karena tidak ada satu orang pun menganggap dirinya pakar. Tidak ada yang merasa dirinya lebih pintar dari yang lain. Semua duduk melingkar, sejajar, saling meng-orang-kan, saling ngajeni satu dengan yang lain. Ini “seminar” model orang dusun. Layaknya rembug desa—akrab, cair, bersahaja.

Saya teringat istilah “merdesa”. Bahwa dusun atau desa adalah paradise, surga bagi para penghuninya saya rasakan benar-benar nyata. Salah satu pelopor dan pengabdi pendidikan dusun Bajulmati, Shohibul Izar berbisik, “Semoga suasana damai ini menjadi jariyah bagi Indonesia.” Saya mengamini harapan itu. Meminjam ungkapan dari Cak Nun, saya katakan pada sahabat saya, “Karena Indonesia adalah bagian dari Bajulmati.”

Pemberdayaan pendidikan pada sebuah komunitas yang melibatkan warga setempat sangat diperlukan terutama di daerah pelosok. Kita tidak bisa lagi mengharapkan kehadiran pemerintah di tengah kegaduhan pendidikan. Moratorium UN memang menjadi agenda yang cukup seksi untuk diulas di meja makan politik pendidikan. Namun, pendidikan sejatinya bukan sekadar kebijakan, regulasi, apalagi sentralisasi kurikulum. Pendidikan Nasional memerlukan penanganan lebih dari semua itu—kekayaan alam dan aneka tradisi-budayanya merupakan “sumber belajar” tiada duanya di dunia, yang teramat eman untuk disia-siakan.

Sayangnya, kekayaan Nusantara itu tidak cukup menggiurkan pemerintah (atau negara) untuk menemukan dan merumuskan pendidikan yang memiliki “akar tunggang” bagi pohon pendidikan di negeri ini. Ribut dan gaduh—itulah kesan yang selalu ditampakkan oleh setiap pemegang otoritas pendidikan. Ribut tentang buah di pohon tapi melupakan akar yang tidak pernah dirawat dengan baik.

Social Progress Index: Bukti Akar Pendidikan yang Rusak?

Dan hari ini kita disodori “buah” yang mengecewakan. Indonesia menempati posisi terakhir dari 40 negara dalam peringkat sistem pendidikan Social Progress Index. Korea Selatan, Jepang, Singapura, dan Hong Kong, masing-masing menempati peringkat satu sampai empat. Korea Selatan menggeser peringkat Finlandia yang pada 2012 lalu menempati posisi pertama.

Itulah “buah” akibat kegemaran berpikir besar seraya mengesampingkan berpikir kecil dalam dunia pendidikan. Regulasi pendidikan nyaris membabat habis akar pemberdayaan pendidikan yang tumbuh di skala lokal dusun. Penggerak komunitas pendidikan—kini bahkan menyebut diri secara terang-terangan misalnya gerakan pendidikan alternatif—sebagian besar pernah mengalami “tabrakan” dengan formalisme pendidikan yang dikawal pemerintah.

Berpikir kecil dalam pendidikan adalah ngopeni, menumbuhkan, ngayomi upaya-upaya kecil yang memiliki akar pemberdayaan pendidikan di tengah lingkungan. Keluhan sahabat saya, Shohibul Izar, menguatkan hal itu. Di tengah keterbatasan tenaga pendidik, sekolah di dusun Bajulmati harus berhadapan dengan “raksasa” formalisme regulasi pemerintah. Alih-alih para pengabdi itu didatangi, ditanya sedang membutuhkan fasilitas apa, didukung, dibesarkan hatinya—raksasa formalisme regulasi itu seakan hendak melumat habis upaya pemberdayaan yang dirintis oleh anak-anak muda dusun itu.

Saya menghibur hati Pak Izar, “Pemerintah memang sangat mementingkan sekolah, tapi mengesampingkan pendidikan. Bajulmati akan bersedekah kepada Indonesia melalui model pendidikan khas yang dimilikinya.”

Pendidikan Lubang Semut yang Tanpa “Ala”

Membaca sebuah sub judul media cetak yang menulis pendidikan di Bajulmati dikatakan ala Laskar Pelangi—saya protes keras. Pendidikan Bajulmati ya ala Bajulmati. Pendidikan Laskar Pelangi ya ala Laskar Pelangi. Setiap pemberdayaan pendidikan, sekecil apapun, se-nano apapun, di dusun atau di desa, di pelosok atau di tengah belantara kota tidak perlu dicarikan ala-padanan, karena mereka memiliki akar dan model pertumbuhan ala mereka sendiri. Setiap gerakan pendidikan yang mengakar di tanah lingkungan itu memiliki takdir, martabat, dan harga diri sendiri.

Raksasa pendidikan nasional yang masih saja limbung dan entah hingga kapan menjadi tonggak untuk membangun peradaban di negeri ini sesungguhnya sedang memerlukan kejelian, kecermatan, kejernihan memandang pendidikan lubang semut seperti di dusun Bajulmati dan daerah pelosok nusantara lainnya. Menghidupi akar pendidikan di lubang semut ini akan menyegarkan darah pendidikan secara keseluruhan karena komponen dan partikel terkecil dirawat dengan baik.

Problematika pendidikan nasional tidak cukup diselesaikan secara makroskopik. Di era nano teknologi ini pendidikan harus diberangkatkan dari gerak mikroskopik, pendidikan lubang semut—yang selama ini justru terinjak oleh kaki raksasa para gajah. Peta solusi itu dihancurkan sendiri oleh pembuat kebijakan dan regulasi.  

Masih tidak percaya? Ketika jari-jari suit, ibu jari (gajah) lawan kelingking (semut) pemenangnya adalah semut. []

rumah ngaji 51216

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun