Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pegawai Kok Negeri

30 November 2016   13:21 Diperbarui: 30 November 2016   16:01 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.klikbontang.com/

Siapa lagi kalau bukan Menteri Susi yang bikin “gara-gara”. Menteri Kelautan dan Perikanan itu membuat gebrakan yang bertujuan ingin menyegarkan komposisi pegawai negeri di lingkungan kementerian yang dipimpinnya. Menteri Susi akan merekrut kaum muda berprestasi untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pasalnya, lebih dari setengah PNS di Indonesia sudah berusia di atas 40 tahun.

Golden handshake adalah program yang ditawarkan Menteri Susi bagi pegawai negeri yang bersedia pensiun dini. Kompensasi yang diberikan cukup besar untuk memulai dan merintis usaha. Negosiasi Menteri Susi berhasil. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) akan memberikan insentif penuh dalam program golden handshake. Menpan-RB bersedia memberikan tunjangan 100 persen.

Terkait wacana golden handshake ini kita bisa menulis beberapa catatan—mulai dari komposisi pegawai negeri yang banyak dihuni oleh generasi tua, mentalitas sendhiko dawuh yang kerap mendominasi PNS, rendahnya keterampilan memanfaatkan fitur teknologi dan informasi, hingga jebakan rasa aman dan nyaman. Namun, dari beragam catatan itu kita akan memotret satu kenyataan cukup mendasar yang hingga hari ini luput dari mata pandang kita—pegawai kok negeri.

Pegawai Negeri Sipil Bagai Lokomotif Tua

Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat, total PNS hingga Juni 2016 mencapai 4.538.154. Dari jumlah itu 51,11 persen adalah laki-laki dan 48,89 persen adalah perempuan. Jumlah PNS ini mengalami penurunan hingga 55.450 PNS atau 1,2 persen dibandingkan Desember 2015 sebanyak 4.593.604. Dari total PNS, sebanyak 950.843 berada di pusat dan sisanya ada di daerah. Sebanyak 2.109.318 atau 46,5 persen berpendidikan S1.

Lebih dari separo PNS berusia lebih dari 40 tahun. Didominasi oleh pegawai berusia 51-55 tahun, gerbong PNS layaknya gerbong tua yang terseok-seok di tengah arus lalu lintas berkecepatan tinggi. Kelompok kedua yang mendominasi adalah pegawai berusia 46-50 tahun sebanyak 18,73 persen. Total pegawai yang berusia 41-60 tahun tahun mencapai lebih 60 persen. Komposisi yang terlalu “tua” dan “lemot” untuk mengikuti laju dinamika perubahan yang super cepat.

Menyoroti Pegawai Negeri Sipil tidak terkait dengan komposisi usia dan kinerja saja. Persoalan mendasar justru ditemukan pada “komposisi struktural” yang diwakili oleh pemakaian kata “negeri” pada Pegawai “Negeri” Sipil. Dalam berbagai kesempatan Maiyah, Cak Nun kerap menyindir, “Pegawai kok negeri.” Bagi arek-arek Maiyah lontaran pikiran nakal dan kadang bernada menggugat dari Cak Nun merupakan hal biasa, di tengah akar dan bangunan berpikir arus utama yang semakin rapuh.

Kepekaan dan kuda-kuda berpikir dalam penggunaan kata denotatif dan kata konotatif bukan hanya lemah—denotatif dan konotatif yang semakin kabur ini ternyata memiliki usia yang cukup panjang. Penggunaan istilah Pegawai “Negeri” Sipil hingga hari ini menunjukkan tata kelola aparatur negara yang sembrono. Kata “negeri” ini berkonotasi pada bahasa sastra, bahasa rasa, bahasa subjektif. Kosa kata “negeri” tidak bisa menjadi pondasi hukum dan tata kepegawaian. Negeri bukan kosa kata hukum—ia bahasa budaya, bahasa estetika, ungkap Mbah Markesot.

Sedangkan Pegawai “Negara” berdenotasi dengan objektivitas kompetensi, kinerja, komitmen, loyalitas, kecepatan dan akurasi data, dan berbagai syarat-rukun management tata kelola negara dan layanan masyarakat lainnya.

Pegawai Negeri Sipil Ataukah Pegawai Sipil Negara?

Apa akibatnya? Hingga hari ini pegawai negeri adalah "penyokong" kekuatan rezim politik yang sedang berkuasa. Seorang Bupati bisa melakukan mutasi misalnya kepada Kepala Dinas Pendidikan yang selama masa kampanye tidak menjadi tim sukses. Pegawai negeri adalah pegawai pemerintah dan taat kepada siapa yang berkuasa.

Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Pegawai “negeri” hanya taat kepada Negara atau Undang-Undang yang dibuat Negara—bukan kepada pemerintah. Karena itu, istilah yang tepat adalah Pegawai “Negara” Sipil. Atau lebih “jantan” lagi, Pegawai Sipil Negara. Atau lebih blokosuto, Pegawai Sipil Rakyat (karena yang menggaji adalah rakyat). Atau lebih halus dan beradab, Abdi Rakyat. Silahkan diteruskan sendiri hingga istilah yang dipakai benar-benar menukik dan menuding pada fungsi mereka sebagai pelayan rakyat.

Tata kelola kepegawaian yang amburadul tidak terlepas dari pertanyaan, para pegawai (negeri) itu taat dan loyal kepada Negara ataukah Pemerintah?

Hal ini kemudian berlanjut pada salah kaprah Aparatur Negara yang dianggap sebagai Pegawai Pemerintah. Pegawai-pegawai di Kementerian seharusnya adalah Pegawai Negara, bukan Pegawai Pemerintah, demikian ditegaskan oleh Pipit Rochiyat Kartawidjaja beberapa waktu lalu saat diskusi bersama penggiat Kenduri Cinta.

Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Presiden bukan atasan-nya pegawai “negeri”, karena posisi mereka sama di depan hukum dan undang-undang Negara. Maka, fasilitas, mobil dinas, rumah dinas, dan semua perangkat yang memfasilitasi para “pekerja” pemerintah itu bukan milik pemerintah berkuasa, melainkan fasilitas dari Negara dan dimiliki sepenuhnya oleh rakyat.

Sayangnya, kita masih menikmati semua kerancuan itu: pemerintah, negara, rakyat dalam kemesraan pertengkaran yang semestinya tidak perlu terjadi. Logika sederhana yang bisa dipakai adalah selama ini pemerintah yang digaji oleh rakyat justru “memerintah” pihak yang menggaji. Diskusi kelas warung kopi pun tahu, yang memerintah adalah yang menggaji. Yang diperintah adalah yang digaji.

Semoga transformasi yang dimotori oleh Menteri Susi tidak berhenti pada tata kelola komposisi usia para pegawai saja. Entah kapan, semoga terjadi pula transformasi yang menyentuh akar persoalan sesungguhnya—transformasi dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi Pegawai Sipil Negara (PSN). Para pegawai negara yang prinsip kewajiban mereka adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada rakyat. Semoga. []

rumah ngaji 301116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun