Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pegawai Kok Negeri

30 November 2016   13:21 Diperbarui: 30 November 2016   16:01 2478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Pegawai “negeri” hanya taat kepada Negara atau Undang-Undang yang dibuat Negara—bukan kepada pemerintah. Karena itu, istilah yang tepat adalah Pegawai “Negara” Sipil. Atau lebih “jantan” lagi, Pegawai Sipil Negara. Atau lebih blokosuto, Pegawai Sipil Rakyat (karena yang menggaji adalah rakyat). Atau lebih halus dan beradab, Abdi Rakyat. Silahkan diteruskan sendiri hingga istilah yang dipakai benar-benar menukik dan menuding pada fungsi mereka sebagai pelayan rakyat.

Tata kelola kepegawaian yang amburadul tidak terlepas dari pertanyaan, para pegawai (negeri) itu taat dan loyal kepada Negara ataukah Pemerintah?

Hal ini kemudian berlanjut pada salah kaprah Aparatur Negara yang dianggap sebagai Pegawai Pemerintah. Pegawai-pegawai di Kementerian seharusnya adalah Pegawai Negara, bukan Pegawai Pemerintah, demikian ditegaskan oleh Pipit Rochiyat Kartawidjaja beberapa waktu lalu saat diskusi bersama penggiat Kenduri Cinta.

Camat, Bupati, Gubernur, Menteri, Presiden bukan atasan-nya pegawai “negeri”, karena posisi mereka sama di depan hukum dan undang-undang Negara. Maka, fasilitas, mobil dinas, rumah dinas, dan semua perangkat yang memfasilitasi para “pekerja” pemerintah itu bukan milik pemerintah berkuasa, melainkan fasilitas dari Negara dan dimiliki sepenuhnya oleh rakyat.

Sayangnya, kita masih menikmati semua kerancuan itu: pemerintah, negara, rakyat dalam kemesraan pertengkaran yang semestinya tidak perlu terjadi. Logika sederhana yang bisa dipakai adalah selama ini pemerintah yang digaji oleh rakyat justru “memerintah” pihak yang menggaji. Diskusi kelas warung kopi pun tahu, yang memerintah adalah yang menggaji. Yang diperintah adalah yang digaji.

Semoga transformasi yang dimotori oleh Menteri Susi tidak berhenti pada tata kelola komposisi usia para pegawai saja. Entah kapan, semoga terjadi pula transformasi yang menyentuh akar persoalan sesungguhnya—transformasi dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi Pegawai Sipil Negara (PSN). Para pegawai negara yang prinsip kewajiban mereka adalah menjalani pelayanan atau pengabdian kepada rakyat. Semoga. []

rumah ngaji 301116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun