Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hoax, Media Sosial dan Hakikat Sebuah Kebenaran

27 November 2016   13:00 Diperbarui: 27 November 2016   15:09 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi media sosial. Shutterstock

Perahu Media Sosial yang Selalu Bergoyang

Ungkapan warna egoisme dalam bingkai suka dan tidak suka kerap dinarasikan secara bloko suto. “Ini dinding gue. Kalau lo tidak suka, jangan nongol di sini!” Atau diam-diam kita me-remove pertemanan dengan seseorang yang selera kebenarannya berbeda dengan kita. Alih-alih menerima perbedaan sebagai keniscayaan—sikap memandang kenyataan secara objektif, kita semakin terkurung oleh myopi paradigma yang sempit dan picik.

Eksistensisme menguat dan menggumpal cukup keras. Media sosial menyediakan lahan untuk memuaskan dorongan primitif itu. Ibarat perahu, penumpang media sosial akan selalu mobat-mabit, moncat-mancit, rubuh-rubuh gedhang, karena cara berpikir yang tidak seimbang akan menciptakan goncangan-goncangan.

Kebaikan-kebaikan menghasilkan pertengkaran. Kewajaran-kewajaran memproduksi permusuhan. Inisiatif-inisiatif kebersamaan menghasilkan kebencian. Semangat dan ajakan untuk menyelamatkan kasih sayang dan perlunya bebrayan dan prinsip lira’arofu, memunculkan kecurigaan dan ketidakpercayaan. Iktikad baik untuk mengatasi oleng dan terguncangnya kapal malah menimbulkan salah paham, gagal paham, dan himpunan-himpunan dendam, demikian wanti-wanti Mbah Markesot dalam Takkan Sampai ke Muara.

Rasionalisme bukan satu-satunya cara melawan berita hoax, walaupun Zuckerberg menyebut hal pertama yang akan dilakukan dalam perang melawan berita bohong ini adalah memperbaiki teknologi untuk mengenali mana berita palsu sebelum mereka menyadarinya. Menggunakan paradigma ilmu kasunyatan Jawa, berita hoax adalah persoalan setiap pengguna media sosial yang dililit oleh egoisme suka dan tidak suka.

Zuckerberg memperbaiki teknologi eksternal, kita pengguna media sosial memperbaiki teknologi internal. Bertumpu pada gerakan melek literasi media digital tanpa diimbangi oleh gerakan melek memandang kenyataan secara objektif yang terbebas dari agenda suka dan tidak suka, akan menghasilkan pikiran yang semplah alias lelah berkepanjangan.

Filter bubble, pada akhirnya adalah persoalan filosofis manusia menyelami teknologi internal dalam diri mereka—bukan sekadar soal konsep algoritma. []

rumah ngaji 271116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun