Menyaksikan “kebutaan” yang diyakini dan dilembagakan seperti ini alangkah gembira hati pemilik gajah. Mereka bahkan berinisiatif menghadirkan tiga hingga lima orang buta agar merabai gajah, dengan terlebih dahulu memastikan kelompok yang merabai kaki, telinga, dan mata gajah harus mantab dan rela mati untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Fenomena Fat Shaming
Diantara kelompok itu—bersama benere wong akeh yang diyakin-yakinkan, cukup rentan mengalami fat shaming.Istilah ini saya pinjam dari budaya mengkritik dengan bumbu ejekan yang awalnya ditujukan bagi pengidap obesitas agar termotivasi menguruskan badannya, namun mereka malah mengalami depresi berkepanjangan dan makin menambah asupan kalori.
“Fat shaming adalah sebuah tindakan mengolok-olok dan stigmatisasi kepada korban, meruntuhkan harga diri dan mengabadikan gagasan berbahaya tentang bagaimana penampilan fisik kita dipaksa untuk serupa dengan tubuh yang dianggap sempurna. Meski 'fat shaming' belum dikategorikan sebagai tindakan kriminal, namun kita mesti mengutamakan perkara karakter dan kemanusiaan,” ungkap Mike Feuer, pengacara korban “pelecehan” badan gemuk yang dilakukan oleh Dani Mathers.
Budaya fat shaming menuding satu kenyataan—kontra produktif ini justru menciptakan arus balik dan membahayakan visi perjuangan. Alih-alih menyatukan pandangan dan berbagi peran, para kelompok penakluk gajah justru terjebak dalam lingkaran fat shaming. Mereka saling mengolok, melancarkan stigmatisasi, melegalkan cara pandang bahwa kebenaran berada di pihak mereka—sehingga otomatis pihak di luar mereka di-pasti-kan salah. Apa akibatnya?
Tidak malah termotivasi untuk mengefektifkan metodologi “rakaat-rakaat” perjuangan yang panjang—mereka justru ditimpa oleh pertikaian kepentingan jangka pendek yang melelahkan. Antar kelompok, jamaah, umat, warga bangsa merentangkan busur sakwasangka dan kecurigaan. Keadilan, kesetaraan posisi dan proporsi bangunan berpikir benar-benar menjadi barang langka. Kontra produktif dari fenomena fat shaming ini cukup efektif mencacah dan memecah diri sendiri.
Kecurigaan dan sakwasangka itu akan beralamat pada tuduhan sektarian, bekerja sama dengan pihak musuh, memainkan agenda politik tersembunyi, atau menerima anggapan tidak peduli dengan nasib bangsa.
Keseimbangan atas-bawah, kiri-kanan, harus benar-benar dijaga agar keempat sikap curiga tersebut tidak saling kita arahkan kepada orang atau kelompok lain. Semua ini tidak selalu dikaitkan dengan persoalan besar kebangsaan, walaupun fakta tersebut memang kerap menyerimpung langkah kebersatuan bangsa ini.
Kita bisa memproyeksikan keadilan dan keseimbangan berpikir dan bersikap dalam skala lokal hidup kita masing-masing. Sehingga perahu yang kita tumpangi—perahu rumah tangga, perahu organisasi, perahu lembaga pendidikan, perahu komunitas hingga perahu besar bernama Indonesia tidak oleng dan moncat-mancit.
Tulisan ini harus saya akhiri. Bab perahu ini kapan-kapan kita sambung lagi, mengingat akan sangat panjang cerita tentang perilaku para penumpang di atas perahu. Kendati demikian, bukankah kita adalah penumpang yang berperadaban, tidak melubangi dinding perahu, atau sejumlah agenda dan perilaku yang menyebabkan perahu tenggelam? Atau paling tidak di lingkungan hidup sehari-hari kita bukanlah orang yang menambal tikar dengan makanan jadah yang sudah busuk? Semoga. []
rumah ngaji 221116