Bersedekah kepada Indonesia, dengan demikian, menunjukkan bahwa arek-arek Maiyah berdaulat penuh terhadap diri mereka. Berdaulat terhadap hidup dan kehidupan mereka. Berdaulat terhadap segala determinasi nilai-nilai yang memporak-porandakan bangunan keutuhan sebagai manusia. Berdaulat bahwa mereka menampung Indonesia di kampung jiwa hidup arek-arek itu.
Puasa di Tengah Hujan Deras Konsumerisme
Sikap tersebut sama sekali keluar dari kecenderungan arus utama di tengah royokan murak berkat bernama Indonesia. Ini sikap puasa yang dicanangkan oleh terutama Cak Nun sendiri dan kepada para penghuni kebun maiyah. Puasa dalam pengertian dan laku yang luas dan dalam. Puasa menikmati jalan-jalan dusun yang ambrol. Puasa menikmati iming-iming konsumerisme yang membutakan mata kebutuhan hakiki seorang manusia. Puasa menikmati jungkir balik, tumpang tindih, silang sengkarut, tikung menelikung logika berpikir yang bukan sekadar berupa penggalan-penggalan, melainkan hingga pada maqam “bodoh saja belum.”
Di tengah laku puasa itu, penghuni kebun maiyah dianjurkan agar terus menanam, menebar benih-benih kebaikan dan kemaslahatan bersama, menyirami, merabuki, menyiangi tanduran nilai manfaat sejauh dan semampu yang dikerjakan, hingga di tingkat paling lokal seperti keluarga.
Atas semua upaya yang diniati dan diupayakan secara baik, benar, dan indah itu, penghuni kebun maiyah tidak perlu berharap agar diliputi media masa dan masuk televisi. Jalan sunyi dalam rakaat panjang—tanpa merasa harus menikmati panen atas tanduran-tanduran itu.[]
Jagalan 181116
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H