Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikmati Suasana "Ning" di Tengah Kegaduhan Media Sosial

14 November 2016   12:14 Diperbarui: 14 November 2016   12:38 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.wovgo.com/

Sejak polemik Ahok menggelinding bagai bola liar dan memantul ke berbagai sudut, media sosial pun semakin riuh dan gaduh. Tidak ada hari tanpa status, foto atau meme tentang Ahok. Penghuni jagad alam maya meneguh-neguhkan sikap dan pendapatnya masing-masing.

Tulisan ini tidak sedang mengupas kasus tersebut. Berangkat dari situasi gaduh di media sosial hingga pada taraf dan kadar tertentu menyumbang polusi mental dan pikiran—sejenak kita memerlukan situasi meneb, mengendapkan kegaduhan dan riuh rendah itu setiap saat.

Timeline media sosial adalah pertunjukan tanpa panggung, mementaskan isi dunia dalam kepala—refleksi dari kenyataan yang bergerak sedemikian rupa di luar kepala. Kejadian demi kejadian mendesak perhatian, meminta sikap dan tanggapan. Kita diserbu oleh “takdir” yang kita ciptakan sendiri, mulai dari banjir di Bandung hingga aksi demo sejuta umat serta sejumlah kejadian lainnya.

Kita menjadi gamang menatap itu semua. Hanya entah yang bisa menjawab, karena entah adalah tempat berhimpun segala kemungkinan. Tidak sedikit manusia melarikan diri dari kenyataan yang sarat dengan muatan entah. Agama menjadi salah satu wadah sekaligus jalan yang diharapkan akan melapangkan jalan pelarian itu. Mencari Tuhan adalah cita-cita mulia hampir setiap manusia yang lelah atau bahkan putus asa meladeni sejuta kemungkinan yang terkandung dalam entah.

Pelarian yang absurd itu dipentaskan cukup apik dalam sebuah pertunjukan tanpa panggung oleh Abdullah Wong, sutradara pada pementasan Suluk Sungai, yang membuka Indonesia Dance Festival (IDF) beberapa waktu lalu. Pentas merefleksikan hidup sehari-hari—manusia mencari Tuhan, lalu demi menggapai asa itu diciptakan tembok-tembok, jeruji-jeruji, penjara-penjara fatamorgana. Benteng dibangun sebagai tembok dan ruang pembatas antara “dunia spiritual yang suci” dengan “dunia wadag yang kotor”. Nyepi, atau bahasa tasawuf dikenal sebagai uzlah, mengasingkan diri di tengah pergolakan dunia. Benteng, jeruji dan penjara adalah ruangan untuk uzlah.

Namun, alih-alih berjumpa dengan Tuhan, mereka justru bertemu kehampaan dan ketidakbermaknaan. Di tengah laku “suluk” itu para pencari Tuhan limbung oleh jalan tak berujung. Melayang-layang tanpa ujung akhir yang jelas, sedangkan dengan alam faktual di sekelilingnya mereka terlanjur lepas.

Tidak sedikit diantara mereka benar-benar menjadi penikmat fatamorgana—fatamorgana sebagai orang suci, fatamorgana merasa mulia, fatamorgana seorang hamba yang memperoleh mandat dari Tuhan agar mengerjakan perintah tertentu, fatamorgana kebahagiaan abadi. Sehingga kesanggupan paling menonjol adalah mengutuk dunia, menyalahkan dunia, mengkafirkan dunia, memusyrikkan dunia. Pokoknya dunia itu serba hitam karena bertentangan dengan dunia putih alam fatamorgana mereka.

Suluk fatamorgana itu mencerminkan tragedi diri yang sungguh memilukan. Ini bukan terutama terkait dengan sikap beragama saja—bahkan tragedi memandang secara hitam putih ini berlangsung pada dinamika kehidupan sosial, politik dan budaya yang lebih luas. Di sanalah tuhan-tuhan kecil disembah. Benar salah, baik buruk, mulia hina menemukan garis pembatas yang tegas. Di luar garis itu yang tampak adalah realitas yang pasti salah, pasti buruk, pasti hina. Tuhan kecil menawarkan semua kepastian itu.

Suluk Sungai yang dipentaskan oleh Abdullah Wong merefleksikan sekaligus memberikan tamparan yang cukup keras. Di tengah arus sungai hidup yang mengalir ini kita kintir, terseret aliran sungai tanpa memiliki pegangan kesadaran yang utuh. Aliran sungai di media sosial lebih deras lagi—serupa banjir bandang. Nyaris tidak ada material dalam hidup ini tidak ditampilkan dan terseret arus sungai media sosial yang cukup deras itu.

Tidak heran di tengah kesadaran yang tidak utuh itu tuhan-tuhan kecil menampilkan diri. Tuhan-tuhan kecil itu ber-tajalli menjadi rangkaian status yang tampil di lini masa dan menawarkan satu sikap yang pasti: pasti benar, betapa pun dalam benar itu mengandung ke-salah-an. Sebaliknya, status yang dianggap pasti salah itu pada dasarnya mengandung ke-benar-an. Jadi siapa yang menentukan salah benar itu? Tuhan-tuhan kecil yang ditemukan pada suluk fatamorgana adalah sang penentu kebenaran.

Bisa kita bayangkan, betapa sangat tidak terhitung dan tergambarkan detail, lipatan, varian benar salah, baik buruk, kaya miskin, mulia hina, yang bergerak di alam fatamorgana manusia. Detail, lipatan, varian yang lembut, tak terhitung dan tak tergambarkan itu bergerak secara sporadis, acak, saling menyerempet, berbenturan, bertabrakan satu sama lain, lalu di saat yang sama membentuk gumpalan-gumpalan yang homogen, bergerak lagi, bertabrakan, berbenturan…

Benar kata nasehat Pakde Sundusin, “Terserah mau pakai istilah suci, sejati, tulus, ikhlas atau apapun. Tetapi yang harus kita waspadai adalah semua skala yang tadi kita sebut —benar salah atau menang kalah, atau baik buruk, kaya atau miskin, mulia apa hina, indah atau jorok, sorga atau neraka, tidak bisa serta merta berdiri sendiri-sendiri.”

Menemukan kesunyian di tengah kegaduhan media sosial adalah menjaga terus menerus keseimbangan diantara semua polarisasi nilai-nilai itu. Pada kesadaran tertentu kita akan disapa oleh suasana “ning” di tengah riuh rendah status, foto, dan berbagai ekspresi kegundahan lainnya.

Tembok pembatas suluk fatamorgana harus dirobohkan. Tuhan sedang tidak ke mana-mana sehingga Dia tidak perlu dicari dan dikejar hingga ke ujung dunia. Dia bahkan lebih dekat dari urat nadi—temukan Tuhan dalam laku safari internal. Berbuat baiklah kepada manusia lain dalam laku safari eksternal. Inilah keseimbangan suluk yang bisa kita tempuh di dunia maya, di tengah pertunjukan tanpa panggung, yang para pemainnya tidak sedikit terkurung dalam polarisasi nilai-nilai.

Di saat suasana “ning” berhasil kita gapai, riuh rendah kegaduhan di media sosial itu bagai nyanyian suluk kehidupan itu sendiri. []

Jagalan 141116

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun