Benar kata nasehat Pakde Sundusin, “Terserah mau pakai istilah suci, sejati, tulus, ikhlas atau apapun. Tetapi yang harus kita waspadai adalah semua skala yang tadi kita sebut —benar salah atau menang kalah, atau baik buruk, kaya atau miskin, mulia apa hina, indah atau jorok, sorga atau neraka, tidak bisa serta merta berdiri sendiri-sendiri.”
Menemukan kesunyian di tengah kegaduhan media sosial adalah menjaga terus menerus keseimbangan diantara semua polarisasi nilai-nilai itu. Pada kesadaran tertentu kita akan disapa oleh suasana “ning” di tengah riuh rendah status, foto, dan berbagai ekspresi kegundahan lainnya.
Tembok pembatas suluk fatamorgana harus dirobohkan. Tuhan sedang tidak ke mana-mana sehingga Dia tidak perlu dicari dan dikejar hingga ke ujung dunia. Dia bahkan lebih dekat dari urat nadi—temukan Tuhan dalam laku safari internal. Berbuat baiklah kepada manusia lain dalam laku safari eksternal. Inilah keseimbangan suluk yang bisa kita tempuh di dunia maya, di tengah pertunjukan tanpa panggung, yang para pemainnya tidak sedikit terkurung dalam polarisasi nilai-nilai.
Di saat suasana “ning” berhasil kita gapai, riuh rendah kegaduhan di media sosial itu bagai nyanyian suluk kehidupan itu sendiri. []
Jagalan 141116
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H