Pembicaraan tentang masjid kembali populer. Salah aktivitas yang disorot adalah khutbah jumat. Pasalnya tidak sedikit seruan dari khotib nyrempet bahkan berterus terang terhadap pilihan atau dukungan terhadap salah satu kepentingan politik praktis. Ajang menyampaikan wasiat dalam ketakwaan itu dimanfaatkan untuk meraih simpati jamaah. Kepentingan politik praktis mewarnai isi khutbah. Politik identitas kembali menyeruak.
Di kota Jombang, yang dikenal sebagai kota santri, isi khutbah Jumat biasanya standar. Bukan karena apa, melainkan ada semacam guyonan bahwa para jamaah shalat Jumat sering rewel. Sikap egaliter orang Jombang kadang kebablasan. Khotib jumat menyapa, “Hadirin jamaah Jumat yang berbahagia…” Para jamaah membalas dalam hati, “Bahagia ndasmu! Bolak-balik ditagih hutang kok bahagia!” Atau khotib mengingatkan, “Marilah kita meningkatkan takwa…” Jamaah berbisik sendiri, “Jumat minggu lalu sudah diingatkan. Wes paham…!”
Pasemon semacam itu jangan ditanggapi secara tekstual. Seruan atau ajakan bertakwa adalah rukun khutbah. Tidak mungkin khotib meninggalkan ajakan bertakwa demi menyenangkan hati jamaah. Mungkin pasemon itu menitipkan pesan agar khutbah jumat kontekstual dengan keadaan dan kebutuhan jamaah. Isi khutbah nyambung dengan duka derita jamaah. Menemukan pelajaran, hikmah, makna dari laku hidup yang dibingkai oleh sikap takwa yang nyata.
Khutbah yang nyambung ini tidak bisa diplesetkan sekadar untuk meraih satu atau dua kepentingan sesaat, yang justru kontra produktif dengan kebutuhan jamaah. Sebuah pencerahan terkait Pilkada misalnya—tanpa harus menunjukkan keberpihakan atau penolakan pada calon tertentu—akan mencerminkan nilai takwa dan menjadi semacam cahaya di tengah situasi gelap yang dibutakan oleh ambisi berkuasa.
Bukan hanya pilihan materi dan sikap para khotib saat berkhutbah—aktivitas memakmurkan masjid sejatinya dilandasi oleh satu misi yaitu mentransformasi takwa tekstual menjadi takwa kontekstual. Gerutu para jamaah soal seruan takwa seolah melayangkan peringatan bahwa takwa tidak cukup diwasiat-wasiatkan, dipesan-pesankan, diseru-serukan. Takwa harus dialami, di-pengalaman-i, di-jeguri-i. Masjid merupakan 'lembaga”'yang berperan melakukan transformasi nilai-nilai ketakwaan itu.
Dengan demikian, keberadaan masjid bukan berupa bangunan fisik belaka. Masjid adalah roh dalam kesadaran tertinggi mereka yang sedang bersujud, berendah hati, merasa belum bermanfaat untuk lingkungan, belum melakukan transformasi kebaikan apapun. Hati yang terhubung dengan masjid adalah hati yang andap-asor melayani sesama.
Pesan mbah buyut zaman dahulu—takwa adalah memberi tempat tinggal mereka yang tersingkir, memberi makan mereka yang lapar, memberi baju mereka yang telanjang--merupakan transformasi dari takwa tekstual menjadi kontekstual gerakan pemberdayaan sosial politik kebudayaan untuk merespon kondisi kebutuhan jamaah. Takwa yang transformatif ini akan otomatis berisi muatan menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemungkaran (nahi munkar)—dengan selalu dilandasi oleh sikap sujud kepada Tuhan dan berendah hati kepada sesama.
Maka, tidak berlebihan apabila masjid menjadi pusat pemberdayaan jamaah di sekitarnya. Pemberdayaan ekonomi, pendidikan, politik, budaya serta segenap sendi kehidupan lainnya. Kesadaran komunitas menjadikan masjid sebagai basecamp, tempat mengabdi kepada Tuhan sekaligus tempat memproyeksikan cinta Tuhan menjadi gerakan cinta yang meluas (Al-Rahman) dan cinta yang mendalam (Al Rahim).
Sebagai basecamp komunitas, masjid tidak perlu lagi dikunci. Selain sebagai Baitullah, Rumah Allah, masjid menjadi rumah bersama para hamba-Nya yang bersinergi dalam gerakan dan kegiatan pemberdayaan. Masjid menjadi milik bersama, menampung akar gerakan yang menancap kuat di tanah kehidupan jamaah di sekitarnya.
Budaya hidup komunitas yang saling memberdayakan ini pun bisa ditransformasi ke dalam berbagai bentuk kesadaran dan kegiatan. Khotib jumat tidak harus selalu orang luar yang kadang tidak benar-benar mengerti peta persoalan jamaah. Khotib 'cabutan' semacam ini rentan terhadap diskontinuitas persoalan-persoalan yang tengah di hadapi jamaah, karena ia tidak terlibat secara intens dengan aktualitas hidup para jamaah. Berbeda dengan khotib yang hidup di tengah warga, terlibat dalam gerakan pemberdayaan, jatuh bangun bersama. Sehingga apa yang dikhotbahkan sengaja diberangkatkan dari sikap nyata transformasi takwa dan kerendahan hati hamba yang bersujud.
Sayangnya, sampai hari masjid masih berfungsi sebatas tempat shalat. Di luar jam shalat pintu dikunci, sepi, nglangut, lengang. Anak-anak kecil pun jarang bermain di halaman luar masjid karena takut dimarahi takmir. Masjid terkesan eksklusif. Akibatnya, warga dan para jamaah kerap dimanfaatkan oleh khotib “cabutan” untuk melancarkan aksi membela kepentingan praktis. Masjid yang tercerabut dari akar kehidupan di sekitarnya sangat mudah menjadi ajang pertarungan kepentingan sesaat. Gerakan politik etis makin tidak dikenal di lingkungan masjid.