Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beginilah Kita: Belajar, Bersekolah, dan Kurikulum Terus Berubah

31 Oktober 2016   23:50 Diperbarui: 1 November 2016   12:52 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih pagi. Kawan saya bercerita panjang lebar terkait kegelisahan hatinya. Bukan persoalan pribadi, melainkan bagaimana kegiatan belajar di sekolah dasar dikemas secara asal-asalan. Hanya ikut-ikutan, latah. Sekolah menyelenggarakan kegiatan—namanya keren, Market Day—namun tidak diberangkatkan dari konsep dan pemahaman yang akurat.

“Apakah sekolah berkewajiban memenuhi sejumlah persyaratan agar suatu kegiatan memiliki makna dan tujuan yang bersifat edukatif?” tanya saya.

“Harus itu!”

“Kenapa harus? Siapa yang mengharuskan?”

Kawan saya diam cukup lama. Lalu ia berbicara seperti baru tersadar dari sesuatu.

“Iya ya. Tidak ada pihak mana pun mengharuskan sekolah agar benar-benar memenuhi peran dan fungsinya—yang secara hakiki tidak boleh melempaskan diri dari nilai-nilai edukasi. Apalagi sekadar kegiatan seperti Market Day yang sangat besar peluangnya untuk disalahpahami konsep dasar berpikirnya.

Saya tidak ngeh alias tidak mudeng dengan pihak sekolah yang berpikir secara parsial, sepenggal-sepenggal, terkotak-kotak, terbata-bata dalam menggagas dan merancang kegiatan untuk siswa tanpa diikuti sikap belajar yang serius dari para guru, misalnya tentang konsep dasar Market Day. Tidak heran, program Market Day menjadi Hari Berbelanja. Sekolah telah menanam benih konsumersime, karena tahapan berpikir entrepreneur yang seharusnya dikenal siswa, direduksi sedemikian rupa.”

“Itu kasus sekolah per sekolah ataukah kasus mayoritas?”

“Apakah masih penting menjawab pertanyaan itu ketika sekolah sudah merasa sangat kesulitan merumuskan dirinya, merumuskan apa yang sesungguhnya sedang mengepung dirinya, merumuskan bagaimana murid-muridnya, merumuskan peta perjalanan masa depan, merumuskan tantangan zaman? Kecuali pada kasus dan situasi tertentu sekolah sangat gamblang merumuskan berapa pundi-pundi keuntungan setiap tahun dari penermaan siswa baru beserta perlengkapan keras dan lunak yang harus dibayar oleh orangtua...”

Saya perhatikan kawan saya seperti sedang kerasukan pemikiran Paulo Freire. Entah, apakah dia berani mengutarakan semua pemikiran itu di depan kepala sekolah dan pengurus yayasan ataukah tidak. Dia harus berpikir ulang sebelum stempel tukang makar menempel di jidat.

Sekolah menjadi lembaga yang telah selesai dengan dirinya. Tidak memerlukan lokomotif yang membawanya ke cakrawala masa depan. Tidak merasa perlu meniti rel-rel kenyataan zaman. Tidak tertarik untuk melintasi ruang demi ruang dan mengarungi waktu demi waktu. Buat apa repot-repot melakukan semua itu, toh siswa dan orangtua merasa cukup dengan layanan “pendidikan” ala kadarnya ini.

Barangkali “kenyataan yang jumud” di balik kenyataan itulah mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat ini tengah mengembangkan konsep living curriculum. Menurut Plt Pusat Kurikulum dan Buku (Puskurbuk) Kemendik‎bud, Prof Nizam, konsep tersebut dikembangkan karena pihaknya belum puas dengan hasil revisi Kurikulum 2013.

Beginilah kita, belajar, bersekolah, demi selembar ijazah dan kurikulum akan terus mengalami perbaikan sepanjang masa, sepanjang politik pendidikan berkuasa. Setiap penguasa merasa perlu meninggalkan jejak kakinya. Membongkar total kurikulum 2013 tidak mungkin lagi. Mendikbub Muhadjir terlalu sering memancing kehebohan.

Sejak meluncurkan wacana sekolah sehari penuh padahal yang dimaksud adalah program ko-kurikuler; guru wajib berada di sekolah selama delapan jam demi profesionalisme (semoga sekolah tidak menjadi pabrik: buruhnya adalah para guru dan bahan bakunya adalah para siswa); mengajak seniman dan budayawan masuk sekolah (ajakan yang menunjukkan sekolah tidak mau mendatangi dan menyapa realitas lingkungan di luar pagar); kini living curriculum tengah disiapkan (padahal mungkin yang dimaksud adalah kurikulum dan pembelajaran di sekolah hendaknya kontekstual dengan realitas dan perkembangan zaman).

Sekolah dihuni guru-guru yang lulus sertifikasi, melimpah ruah ilmu dan pengetahuannya—tapi tidak mengerti dimana letak dan bagaimana menerapkannya, tidak mengerti bagaimana konstruksi dan anatominya, tidak menyadari dimana kini berada dan hendak berangkat kemana. Sekolah menjadi kepingan-kepingan kepentingan: kepentingan politik pendidikan, kepentingan promosi jabatan, kepentingan sertifikasi, kepentingan laba ekonomi yayasan, kepentingan citra kelas sosial. Sekolah menjadi kendaraan peradaban, mengantarkan kepentingan mereka pada terminal benda-benda.

Jika benar yang dikehendaki adalah kurikulum yang kontekstual dengan perkembangan zaman, yang perlu dirobohkan adalah tembok kepentingan yang menghalangi mata pandang dari kesejatian pendidikan yang sebenarnya. Sekolah harus kembali kepada khitah-nya—khitah pendidikan khas bangsa Nusantara, yang tidak menjual pendidikan sendiri untuk membeli pendidikan dari luar—yang dijual dengan harga jauh lebih mahal.

Mempersiapkan living curriculum tapi membiarkan sekolah tetap terisolir dari lingkungan sekitarnya akan menghasilkan paradoks—benturan inkonsistensi intelektual akan terjadi. Split. Tidak utuh dan padu. Pembelajaran tidak kontekstual ini bukan persoalan Kurikulum 2013 saja. Sejak hegemoni sekolah menggeser Taman Siswa produk yang dihasilkan adalah inkonsistensi itu sendiri. Bagaimana tidak?

Berpendidikan selalu dikonotasikan bersekolah, lalu sekolah memisahkan diri dari akar lingkungan di sekitarnya, mempelajari hal-hal yang tidak berkaitan dengan kasunyatan hidup siswa, dan kegiatan belajar itu berlangsung dalam suasana penuh formalisme—yang nyata-nyata berkebalikan dengan visi misi Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, bukankah itu disorientasi absolut?

Saya setuju dengan pendapat kawan saya. Ia mengatakan, “Sekadar menyelenggarakan Market Day di sekolah, sang pemilik gagasan sudah kehilangan pijakan mana pasar mana sekolah. Mana bazar mana pameran. Mana belanja mana konsumersime. Mana guru mana tukang…”

Lagi-lagi, problem utama bukan pada kurikulum, tapi paradigma, cara berpikir, sikap berpikir, pijakan berpikir, jarak berpikir, sudut berpikir guru. Teramat sering telinga saya menangkap kata-kata, “Sudahlah, Pak. Akan dibenahi model bagaimana lagi. Kita mengajar memang sudah begini. Malah repot nanti. Yang penting kan kita bisa menikmati pencairan uang sertifikasi…” []

Rumah Ngaji 11116

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun