Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Darurat Interaksi Guru dan Murid

25 Oktober 2016   00:41 Diperbarui: 25 Oktober 2016   10:24 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adalah John Taylor Gatto, tokoh pendidikan progresif di Amerika Serikat, peraih gelar Teacher of The Year di New York, memutuskan berhenti setelah 26 tahun mengajar. “Bertahun-tahun saya memohon kepada dewan sekolah dan pengawas agar membolehkan saya mengajar dengan kurikulum yang tidak melukai anak-anak, tetapi mereka menginginkan saya melakukan sesuatu yang menurut mereka lebih penting. Karena itu saya berpikir untuk keluar,” ujar Gatto.

Tidak ada kebanggaan pada diri Gatto ketika ia menerima penghargaan Teacher of The Year. Gatto mengakui dirinya bukan pemenang guru terbaik. Penghargaan tersebut dipersembahkan untuk semua guru yang terus berjuang membangun interaksi dengan siswa, orangtua, dan masyarakat. Interaksi yang tiada pernah henti saat bergulat dan berjuang menemukan kembali makna pendidikan.

Mengajar siswa selama 26 tahun membuka mata Gatto. Sistem dan model persekolahan makin tidak relevan dengan dinamika kemajuan zaman. Ilmuwan tidak terutama lahir dari kelas sains. Politisi tidak lahir dari kelas Pendidikan Kewarganegaraan. Ahli bahasa tidak lahir dari kelas bahasa. Kenyataan yang terjadi sebenarnya adalah sekolah tidak mengajarkan apa-apa kecuali bagaimana siswa mematuhi perintah.

Dalam buku Dumbing Us Down: The Hidden Curriculum of Compulsory Education (2005), Gatto membongkar keburukan mendasar institusi bernama sekolah. Ia mengritik sekolah yang tidak mengajarkan indepedensi, menyuruh anak melakukan hanya bila ada perintah, berhenti saat mengerjakan sesuatu karena bunyi bel, memilih dan memilah anak berdasarkan umur atau mitos kepandaian.

Mencermati kritik keras Gatto pada sistem persekolahan, kita akan menemukan persoalan mendasar yang terjadi di sekolah, yaitu interaksi guru dan murid sebatas interaksi fungsional, bukan interaksi kemanusiaan. Hal itu tercermin dari cara pandang guru yang mengidentifikasi fungsinya sebatas guru mata pelajaran. “Saya guru Matematika. Perilaku moral siswa itu tanggung jawab guru Agama,”—walau kalimat itu tidak diucapkan, cara pandang tersebut menjadi problem klasik interaksi sesama guru. Sekat-sekat fungsional sesama guru makin menguatkan pandangan bahwa sistem sekolah benar-benar telah usang. Bagaimana guru berinteraksi dengan siswa?

Interaksi yang berlangsung—dapat dapat dipastikan—adalah interaksi fungsional guru mata pelajaran. Tidak ada multikoneksi yang melibatkan guru dan siswa. Sel-sel berpikir siswa dipetakan menurut profil mata pelajaran yang diajarkan guru. Siswa sedang terlibat interaksi dengan guru mata pelajaran—bukan melakukan interaksi dengan sesama manusia. Harkat kemanusiaan guru dan siswa ditindih oleh fungsi profesi.

Dalam psikologi komunikasi yang “berat sebelah” itu tentu saja guru menjadi penguasa. Guru menguasai hampir seluruh perangkat komunikasi dan proses belajar. Sebut saja misalnya, apa yang harus dipelajari siswa sekolah menyediakan kurikulum standar yang harus diajarkan guru. Sebelum melangsungkan proses belajar siswa diposisikan sebagai pihak yang harus manut, patuh, sendikodawuh. Siapa yang harus dipatuhi? Tentu saja guru mata pelajaran. 

Jika hal itu benar terjadi, metode pembelajaran, metode komunikasi efektif, metode optimalisasi kerja otak rasanya hanya mitos belaka. Bagaimana tidak? Akar persoalan sesungguhnya memang bukan pada sejumlah metode tersebut, melainkan pada sikap dan watak dominasi sekolah yang dijalankan guru—bahkan sejak di awal kegiatan belajar.

Salah satu karakter dominasi sekolah adalah siswa harus melakukan pekerjaan secara benar. Tidak boleh salah. Selain para Nabi dan Rosul adakah manusia yang tidak pernah berbuat salah? Ironis memang, dalam praktek keseharian guru seperti memiliki mata malaikat yang sanggup mendeteksi kesalahan siswa hingga yang paling kecil. Mereka sangat peka dan cepat memberikan reaksi saat siswa melakukan kesalahan. Namun, saat siswa melakukan perbuatan baik, guru kerap diam saja.

Harus selalu berbuat benar dan guru yang sangat peka terhadap setiap kesalahan paling kecil, membuat siswa merasa tertekan dan ditekan. Serbuk-serbuk halus karakter yang tidak manusiawi itu dapat dilihat dan dirasakan ketika siswa mengerjakan tugas, seperti menyelesaikan pekerjaan rumah, mengisi Lembar Kerja Siswa (LKS), menulis jawaban di lembar ujian. Hampir semua instrumen dan perangkat belajar harus diselesaikan secara benar.

Interaksi proses belajar yang sarat tekanan bisa membunuh kemerdekaan berpikir. Sekadar menyampaikan pendapat secara bebas siswa merasa takut. Takut apa? Takut salah dan disalahkan. Karakter berpikir model soal-soal ujian, seperti pilihan ganda, melengkapi jawaban, yang mendominasi proses berpikir siswa benar-benar memasung kreativitas dan merampas kebebasan berpikir.

Tak terhitung jumlahnya saya memendam pedih saat berhadapan dengan situasi penuh ketakutan itu. Saya harus berulang kali merayu, memberi motivasi, meyakinkan para siswa bahwa komunikasi mereka dengan saya tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Bebas menyampaikan gagasan, pendapat, pandangan—pokoknya bebas mengutarakan apapun terkait dengan tema diskusi, demikian penekanan saya.

Saya sadar, tiga atau empat jam pertemuan merupakan waktu yang sangat singkat untuk mencabut akar ketakutan mereka. Lalu saya menghibur diri sendiri, setidaknya saya sudah menanam benih kebebasan dan kemerdekaan berpikir di ladang berpikir anak-anak itu. Selebihnya saya kembali dihadapkan pada keadaan darurat interaksi gurudan murid.

Guru yang mendominasi interaksi akan menurunkan efektivitas pembelajaran di sekolah. Keterlibatan siswa menjadi sangat terbatas. Studi Gallup 2015 mengungkapkan faktor penting yang memengaruhi efektivitas sekolah. Pendapat pengawas sekolah dan orangtua terhadap keterlibatan siswa sebagai salah satu faktor penentu efektivitas sekolah mencapai 88 persen dan 78 persen. Siswa menerima ujian yang terstandar justru berada pada prosentase paling rendah, yakni masing-masing 14 persen.

Gedung dan fasilitas sekolah boleh sederhana dan apa adanya. Namun, interaksi yang menyenangkan dan penuh makna harus mewarnai setiap proses belajar. Guru memegang peranan kunci—beranikah mendobrak tirani interaksi yang memenjarakan kebebasan berpikir siswa? Atau mengambil keputusan seperti Gatto, berhenti mengajar di sekolah formal lalu merintis pendidikan alternatif. Tidak memerlukan waktu hingga 26 tahun bagi saya untuk mengambil keputusan seperti Gatto. []

Jagalan 251016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun