Tak terhitung jumlahnya saya memendam pedih saat berhadapan dengan situasi penuh ketakutan itu. Saya harus berulang kali merayu, memberi motivasi, meyakinkan para siswa bahwa komunikasi mereka dengan saya tidak ada kaitannya dengan benar atau salah. Bebas menyampaikan gagasan, pendapat, pandangan—pokoknya bebas mengutarakan apapun terkait dengan tema diskusi, demikian penekanan saya.
Saya sadar, tiga atau empat jam pertemuan merupakan waktu yang sangat singkat untuk mencabut akar ketakutan mereka. Lalu saya menghibur diri sendiri, setidaknya saya sudah menanam benih kebebasan dan kemerdekaan berpikir di ladang berpikir anak-anak itu. Selebihnya saya kembali dihadapkan pada keadaan darurat interaksi gurudan murid.
Guru yang mendominasi interaksi akan menurunkan efektivitas pembelajaran di sekolah. Keterlibatan siswa menjadi sangat terbatas. Studi Gallup 2015 mengungkapkan faktor penting yang memengaruhi efektivitas sekolah. Pendapat pengawas sekolah dan orangtua terhadap keterlibatan siswa sebagai salah satu faktor penentu efektivitas sekolah mencapai 88 persen dan 78 persen. Siswa menerima ujian yang terstandar justru berada pada prosentase paling rendah, yakni masing-masing 14 persen.
Gedung dan fasilitas sekolah boleh sederhana dan apa adanya. Namun, interaksi yang menyenangkan dan penuh makna harus mewarnai setiap proses belajar. Guru memegang peranan kunci—beranikah mendobrak tirani interaksi yang memenjarakan kebebasan berpikir siswa? Atau mengambil keputusan seperti Gatto, berhenti mengajar di sekolah formal lalu merintis pendidikan alternatif. Tidak memerlukan waktu hingga 26 tahun bagi saya untuk mengambil keputusan seperti Gatto. []
Jagalan 251016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H