Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Generasi Milenial dan Potensi Krisis Kebudayaan

23 Oktober 2016   00:58 Diperbarui: 23 Oktober 2016   09:28 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://www.khittah.co/

Berbincang tentang perilaku generasi milenial seperti tak ada habisnya. Mereka yang biasa disebut Generasi Y itu, lahir pada kurun waktu 1980-2000, diakui sebagai generasi yang cerdas dan melek teknologi. Tumbuh di tengah kemajuan teknologi digital yang cukup pesat, naluri digitalisasi seakan sudah tertanam sejak dalam kandungan. Tidak heran, generasi milenial merupakan generasi paling cepat belajar dan beradaptasi terhadap hampir segala bentuk inovasi teknologi digital.

Bagi generasi milenial, dunia maya adalah dunia nyata. Di dunia maya mereka berumah tinggal. Mulai dari menyelesaikan pekerjaan, melakukan transaksi, memesan makanan, hingga mencari jodoh. Pitutur bijak yang menyatakan, anak-anak kita dilahirkan untuk hidup di zaman yang kita tidak bisa membayangkannya, menjadi kenyataan. Mereka adalah penghuni ruang dan waktu masa depan.

Ketika generasi milenial pelan namun pasti “menguasai” dunia, para orangtua, dikenal dengan Generasi Boomer dan Generasi X, mulai mencemaskan mereka. Bukan terutama cemas terhadap tingkat kecerdasan atau ke-melek-an mereka menghadapi inovasi teknologi digital. Sorot tajam mata yang jauh menatap masa depan menjadikan generasi milenial tidak adil menatap sejarah masa lalu. Hidup adalah meraih “hidup” di masa depan. Masa lalu bersama ornamen sejarah yang tua dan kuno menjadi tali temali yang menyerimpung kaki saat berlari.

Kecemasan generasi pendahulu itu cukup beralasan. Profesor James Flynn dari University of Otago, Selandia Baru, memberikan argumen bahwa generasi milenial yang cukup cerdas dengan setumpuk potensi itu, jangankan memandang dan memahami masa silam—ketika keluar dari Universitas mereka asing di tengah lingkungan terdekat mereka. Sembilan puluh persen generasi milenial berinteraksi dengan internet, sehingga kaki hidup mereka tidak menginjak tanah. Ada sekat tak kasat mata yang memisahkan mereka antara dunia nyata dan dunia maya. Mengapa mereka mengalami keterpisahan?

Generasi milenial bukanlah generasi yang lahir secara tiba-tiba. Istilah milenial digunakan untuk menandai tahun lahir—kurun waktu saat teknologi digital berkembang masif. Serbuk-serubuk udara inovasi digital bahkan sudah dihirup sejak mereka masih berada dalam rahim. Namun, sebagai anak dari generasi sebelumnya, generasi milenial tidak mungkin dilepaskan dari sistem, model, pola asuh dan pendidikan yang membesarkan mereka.

Generasi Boomer dan Generasi X—dengan sistem dan model pendidikan yang mereka selenggarakan—sesungguhnya turut menanam investasi yang memengaruhi cara pandang, cara berpikir, sikap berpikir generasi milenial. Kalau generasi pendahulu itu kini mencemaskan atau mengeluhkan sikap generasi milenial dalam memandang dunia, lingkungan, masa lalu dan masa depan—sehingga tidak jarang terjadi benturan-benturan, misalnya di lingkungan kerja, semua itu merupakan “buah” dari pendidikan.

Tekstualisasi Sejarah

Sebut saja keluhan atau kecemasan generasi milenial tidak memandang dan memahami masa silam. Pasti itu sebuah akibat dari deretan sebab yang telah ditanam oleh generasi pendahulu. Bagaimana tidak? Pelajaran sejarah di sekolah disampaikan oleh guru yang sebagian besar adalah generasi boomer dan generasi X dengan cara yang tidak kompatibel dengan alam berpikir generasi milenial. Generasi pendahulu menampilkan pelajaran sejarah sebagai fakta material. Menghafal tanggal, tahun peristiwa, nama tokoh, lokasi sejarah, definisi menjadikan pelajaran sejarah di mata generasi milenial layaknya peninggalan purba. Generasi pendahulu berpikir sebatas dirinya, bukan untuk generasi sesudahnya—juga tidak untuk menjangkau masa depan yang sangat panjang.

Inilah awal mula kontinuitas sejarah antar generasi putus. Pelajaran sejarah tidak disikapi sebagai akar kehidupan, yang asal usul, harga diri, nilai-nilai luhur, tatanan filosofi hidup sebuah bangsa berasal darinya. Sejarah hanya sebuah fakta masa lalu. Itu pun dipenggal pada peristiwa yang paling elementer. Pelajaran sejarah yang tekstual seperti itu menjadi kebijakan dan kebijaksanaan generasi pendahulu yang harus dimakan dan ditelan oleh generasi milenial.

Potensi Krisis Kebudayaan

Ketika anak-anak milenial itu bangga menggunakan bahasa Inggris karena merasa lebih keren daripada Bahasa Indonesia, itulah buah dari "tekstualisasi" pelajaran sejarah. Mohon tidak terburu-buru menghubungkan dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Kita sedang menghadapi potensi krisis kebudayaan yang ditandai oleh pupusnya kebanggaan menggunakan Bahasa Indonesia, baik sebagai harga diri dan identitas kebangsaan maupun warisan budaya tak benda.

Potensi krisis kebudayaan itu, lagi-lagi, disebabkan oleh tekstualisasi sejarah yang mencabut Bahasa Indonesia dari akarnya. Kelahiran Bahasa Indonesia dipahami sebatas peristiwa Sumpah Pemuda. Sedangkan Sumpah Pemuda itu sendiri merupakan “buah” dari akar pepohonan perjuangan yang jarang bahkan tidak pernah dikenalkan—apalagi dihayati makna dan filosofinya dalam konteks berbahasa.

Tekstualisasi sejarah melemparkan generasi milenial saat ini ke dalam pusaran hampa identitas dan jati diri sebagai warga bangsa. Mereka tidak kenal dan mengenal bahasa Melayu sebagai akar bahasa Indonesia. Akibatnya, mereka gagap, gugup, terbata-bata mengeja masa depan. Menghadapi MEA pun kalang kabut.

Padahal pada 2012, Universitas Chulalongkorn, Thailand pernah melakukan penelitian dengan tema mencari bahasa resmi yang digunakan masyarakat ASEAN. Dari sisi jumlah pengguna, bahasa Melayu digunakan oleh 260 juta orang, dengan basis penutur di Indonesia, Malaysia, Brunei, sebagian Timor Leste, dan sebagian Thailand. Jumlah itu mencakup 45 persen dari seluruh warga negara anggota ASEAN. Sementara, bahasa Thailand digunakan sedikitnya 85 juta orang dengan basis pengguna Thailand, dan sebagian Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Data tersebut bukan untuk menunjukkan belajar bahasa Inggris tidak penting. Belajar bahasa asing di tengah globalisasi merupakan keharusan yang tidak dapat ditolak. Namun, mempelajari dan mendalami Bahasa Indonesia tidak boleh dikalahkan oleh alasan yang justru menunjukkan generasi milenial kita sedang ditimpa krisis kebudayaan.

Di tengah anggapan Bahasa Indonesia semakin “tidak keren”, saya sangat menikmati puisi-puisi Chairil Anwar, meminjam ungkapan Yasmin, redaktur Balai Pustaka, karena Bahasa Indonesia mendapatkan ekspresinya yang paling penuh. Ini salah satu puisi tersebut: Rumahku dari unggun timbun sajak / kaca jernih dari luar segala nampak / Kulari dari lebar gedong halaman / Aku tersesat tak dapat jalan / Kemah kudirikan ketika senja kala / Di pagi terbang entah kemana / Rumahku dari unggun timbun sajak / Di sini aku berbini dan beranak.

Ya, di sini, di bumi Nusantara, aku berbini dan beranak. []

Jagalan 231016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun