“Bekerja? Ya, tiap hari, tiap detik saya bekerja!”
“Di mana?”
“Di mana-mana!”
“Yang tetap?”
“Yang tetap…, o, maksudnya yang tetap di satu tempat, lantas masuk pagi jam tujuh dan pulang siang jam dua, begitu? Ah, kerja yang itu tak usahlah!”
Cara Chairil bekerja merupakan manifestasi perpaduan yang utuh antara kreasi dan rekreasi—walau dalam bentuk yang ekstrem. Di zaman sulit seperti itu Chairil tetap tegak dengan cara pandang khas dirinya tentang makna bekerja. Tentu saja, Mirat Tua dan keluarganya mengerutkan kening. Bagi Chairil bekerja bukanlah menjadi alat musik kehidupan—tapi menjadi pemain dari lagu penghidupan.
Alat musik simbol dari mesin, dan dengan demikian, bekerja bukan mendehumanisasi diri menjadi mesin—bekerja tapi kehilangan makna. Menggelinding bersama waktu, 24 jam penuh, dalam sekat-sekat ruang mekanik peradaban. Asing menatap diri sendiri. Di akhir pekan berbondong-bondong menuju paradesa, paradise, surga kehidupan desa, yang awalnya sengaja ditinggalkan karena budaya nyambut gawe tidak compatible dengan cuaca zaman.
Bekerja adalah hidup itu sendiri atau hidup adalah bekerja itu sendiri. Ketika kita kehilangan makna bekerja, jangan-jangan kita telah kehilangan makna hidup itu sendiri. Atau ketika kita kehilangan makna hidup, jangan-jangan kita telah kehilangan makna bekerja itu sendiri.
Nyambut gawe berisi muatan makna tentang hidup dan bekerja. Istilah kuno peninggalan mbah buyut itu merefleksikan tentang tragedi peradaban, sekaligus menawarkan solusi bagi generasi masa depan.[]
Jagalan 211016