Seorang kawan yang memiliki usaha percetakan pernah mengeluhkan perilaku pegawai pemerintah kabupaten yang sering meminta nota kosong dan sudah diberi stempel lunas. Tujuannya jelas bisa ditebak. Mereka akan menulis sejumlah rupiah di atas nota itu sesuai margin harga yang dikehendaki. Kawan saya tidak tahu berapa harga yang ditulis. Hingga suatu saat ia menerima kabar bahwa biaya cetak di percetakan miliknya tergolong mahal. Setelah ditelisik ternyata harga yang tertulis di nota kosong itu terlampau tinggi menurut standar percetakan.
Kasus mark up harga cetak melebihi standar seperti itu tidak sekali dua kali terjadi. Tentu saja kawan saya dirugikan. Ia pun mengambil sikap. Nota kosong tidak diserahkan begitu saja. Terjadilah tawar menawar. Mengambil untung boleh, tapi tetap dalam standar kelayakan biaya cetak dan dilakukan dengan cara yang jujur.
Manipulasi harga yang menimpa percetakan kawan saya itu jamak ditemukan. Selisih harga lima ribu atau sepuluh ribu dari harga semestinya terasa wajar-wajar saja. Kawan saya menyebut korupsi receh. Saya mengamini sebutan itu karena korupsi receh atau korupsi kecil-kecilan sering tidak dianggap korupsi. Mengapa?
Kita perlu waspada sebab sedang berlangsung peng-konotasi-an atas pengertian tindakan korupsi. Sebuah kasus dinyatakan sebagai tindak korupsi kalau melibatkan pejabat tinggi dengan sejumlah uang minimal ratusan juta hingga trilyunan rupiah. Adapun pe-ngentit-an uang negara dalam jumlah receh kerap dinilai sebagai korupsi yang ringan, lalu lama-lama tidak dianggap lagi sebagai korupsi. Sikap terakhir ini akan menumbuhkan kebiasaan bahkan kini menjadi kebudayaan yang normal di lingkungan birokrasi.
Febri Hendri, Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menengarai bahwa modus korupsi kecil-kecilan itu mulai dari nota fotocopy senilai lima ribu rupiah, nota fiktif, tiket fiktif, uang saku yang tidak sesuai ketentuan, atau kegiatan enam hari diringkas jadi tiga hari.
Korupsi bukan korupsi itu terasa semakin menguntungkan. Nilai rupiah boleh kecil tapi lumintu, mengalir setiap hari, minggu, atau bulan. Sedikit-demi sedikit lama-lama jadi bukit. Siapa mau mengungkap korupsi kecil-kecilan, njlimeti aliran uang sepuluh ribu, limabelas ribu, limapuluh ribu itu? Mengungkap kasus korupsi kelas teri hanya akan menguras pikiran dan tenaga di tengah kepungan kasus korupsi kelas kakap. Solidaritas yang terbangun sesama koruptor kelas receh membentuk jalinan kesetiaan yang jadi pelindung diantara mereka.
“Mencuri uang negara” yang dikonotasi sebagai “uang lelah”, “uang bensin”, “biaya perjalanan dinas”, “efisiensi anggaran”, “percepatan waktu kegiatan”, membuat kita tidak mudah menjawab pertanyaan, apakah korupsi itu milik para koruptor ataukah milik kita bersama? Sama tidak mudahnya menjawab pertanyaan, apakah korupsi itu kasus struktural sistemik ataukah kasus kebudayaan dan peradaban? Apakah korupsi terjadi sebatas peristiwa transaksionallokal ataukah korupsi telah menjadi serbuk kesadaran yang merasuk melalui udara hingga ke aliran darah?
Tidak otomatis mereka yang berteriak, “Wahai para koruptor…!” terbebas dari kasus yang sama. Korupsi yang kehilangan makna denotasi akan menguap, menjelma udara, tidak kasat mata, menyelinap ke dalam bilik kamar tidur kita. Jangan-jangan korupsi adalah udara itu sendiri yang kita hirup setiap hari. Sel-sel berpikir kita tinggal menunggu manifestasi mental, sikap, cara pandang, jarak pandang, sudut pandang datangnya momentum ruang dan waktu bagi output perilaku manipulatif dan koruptif.
Melihat kompleks dan kelembutan detail-detail teknologi internal tersebut, tindak korupsi bukan sekadar peristiwa kasat mata—tindak korupsi merupakan benih naluri yang mengakar dan mengurat nadi.
Karena itu, mengurai perilaku korupsi bukan hanya mengurai benang ruwet struktural sistemik, maladministrasi, pengawasan yang longgar. Kita tidak terutama sedang berurusan dengan sejumlah uang negara yang dirampok. Semua itu adalah percikan-percikan kecil sebuah akibat dari rangkaian sebab yang sangat mendasar. Kita tidak mengecilkan peran dan fungsi KPK. Namun, kita juga perlu waspada untuk memastikan setiap langkah keputusan yang kita ambil tidak sepenuhnya bebas dari jaring-jaring halus udara yang menaburi serbuk naluri koruptif dan manipulatif.
Manifestasi naluri korupsi bahkan dimulai jauh sebelum transaksi korupsi berlangsung. Korupsi iman, korupsi cara pandang, korupsi cara berpikir, korupsi isi hati yang sejati dalam perilaku sehari-hari, pekerjaan birokrasi, hingga keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, merupakan benih-benih naluri dari tanduran kebudayaan dan peradaban yang kini berbuah korupsi.
Rangkaian sebab yang mendasar itu, meminjam istilah Sabrang (Noe Letto), adalah teknologi internal manusia yang amburadul. Mengapa amburadul? Karena cita-cita hampir setiap manusia (Indonesia) adalah menjadi kaya dan raya. Semua elemen dalam teknologi internal manusia dikerahkan dan didayagunakan untuk meraih kekayaan dan kerayaan. Kita yang sedang berkuasa belum menjadi pemenang jika belum mencapai standar kekayaan yang kita tetapkan sendiri. Lantas, kapan dan bagaimana batas standar kekayaan itu berhasil dicapai?
Tidak ada batas waktu dan skala ruang yang bisa membendung apalagi menampung perbuatan serakah. Celakanya, keserakahan itu dikonotasi sebagai ungkapan demi kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, kepentingan golongan, yang pada perkembangan terakhir menjadi demi kepentingan rakyat.
Semoga tulisan singkat ini tidak menambah keruwetan, tapi menjadi sumbangan introspeksi untuk kewaspadaan diri sendiri. Waspada terhadap detail-detail setiap denotasi-konotasi kata. Sehingga ketika kita mengucapkan atau mendengar kata “korupsi” sel-sel berpikir kita menangkap makna denotasi yang sebenar-benar korupsi. Dengan demikian, korupsi “besar-besaran” atau korupsi “kecil-kecilan” sejatinya tetaplah korupsi. []
Jagalan 181016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H