Pragmatisme berbahasa adalah ilusi yang menyesatkan. Ia menyimpan bara, menabung gelisah, memanen derita. Kelak ketika beranjak dewasa anak-anak akan merasa aneh, asing, pangling terhadap desakan ide, lontaran gagasan, lintasan perasaan dalam diri mereka. Dengan gagah perkasa mereka menjelajah dunia eksternal, namun merana saat menyelami dunia internal. Bukankah hal itu awal sebuah tragedi diri?
Lagi-lagi sekolah berperan cukup strategis dalam menyiapkan tragedi demi tragedi. Institusi yang kian merampas makna hakiki pendidikan itu menampilkan satu pilihan: mengkuti apa 'kemauan' sekolah atau tidak usah sekolah sama sekali. Memang ada pelajaran agama di sana, namun Tuhan tidak pernah dilibatkan sebagai Pihak Yang Memiliki anak-anak itu. Sekolah menciptakan 'takdir' sendiri berupa kurikulum untuk mencetak 'nasib' anak-anak melalui cetakan Silabus dan RPP.
Proses belajar di sekolah dengan segala perangkat keras dan lunak yang dimiliki tidak didesain dalam rangka menjawab pertanyaan: “Apa yang Tuhan kehendaki pada setiap individu siswa sehingga ia lahir di dunia?” Tentu saja itu pertanyaan subjektif di tengah objektivisme dan pragmatisme kebudayaan sekolah yang memiliki standar 'surga' atau 'neraka' sendiri.
Berkaca di Bening Telaga Jiwa Anak
Di tengah pundi-pundi tabungan tragedi itu buku “Aku dan Cerita Kita” menawarkan harapan dan sikap optimis yang bersahaja. Pendidikan—apalagi lembaga konvensional bernama sekolah—harus mulai bersikap rendah hati di depan siswa. Rendah hati sebagai bentuk sikap kesadaran, seperti diungkap Cak Nun dalam “Merabuki Tanaman Masa Depan”, pengantar buku “Aku dan Cerita Kita”: mendidik anak bukanlah memprosesnya menjadi seperti yang kita maui, melainkan menemaninya berproses agar menemukan apa yang Allah kehendaki atas hidupnya.
Menemani anak menjalani proses jadi nyambung dengan apa yang disampaikan Pak Toto Raharjo, kemampuan komunikasi secara lisan (oral) dimulai dari bahan yang sederhana: cerita pengalaman sehari-hari. Bagi orang dewasa, cerita semacam itu terkesan remeh, tapi tidak bagi anak-anak. Berbahasa secara ekspresif melatih anak berpikir secara struktural, menata ulang puzzle pengalaman, lalu menyusun kepingan-kepingan itu dalam rangkaian dialektika komunikasi yang bermakna. Bagaimana caranya?
Guru dan orangtua menyimak secara tulus, mengukur secara tepat bobot komunikasi, meresponnya sesuai kadar 'kecerdasan' anak. Yang dibutuhkan bukan sebatas kesabaran dan ketelatenan. Bahwa setiap perkataan dan tindakan anak merupakan 'ayat' yang memancarkan sinyal multidimensi dan multitafsir perlu disadari guru dan orangtua. Sinyal itu memiliki pantulan ke berbagai arah—yang selama ini kerap dipahami hanya sebatas garis yang linier. Bahkan sinyal itu bisa mengabarkan 'cuaca' perasaan orangtua. Bisa jadi kerewelan anak merupakan 'ayat' tentang situasi emosi orangtua.
Simak cerita M. Faizul Anwar, salah satu anak Playgroup. Judulnya Bantal Pesing. “Aku punya bantal kesayangan. Dia kuberi nama Bantal Pesing. Setiap minum susu dan mau tidur, aku senang memeluknya.” Ayat “Bantal Pesing” ini monggo dianalisa, dipetakan, dicermati, diintip dengan mikroskop nurani, ditadaburi. Minimal akan kita sadari bahwa anak-anak kita adalah manusia juga.
Atau ayat berjudul Aku Menemani Ibuku Berjualan dari Afiska Rendra Alviana. “Bu guru, aku bantu, ya. Aku bisa membuat susu sendiri. Setiap hari aku menemani ibuku berjualan. Aku juga terbiasa menyapu dan makan sendiri.” Siapa diantara kita memiliki telaga sebening telaga jiwa anak-anak?
Buku “Aku dan Cerita Kami” cukup istimewa mengisi hati saya justru karena kesederhanaan cerita di dalamnya. Dalam pertemuan yang sangat singkat dengan Ibu Nadiroh saya bersyukur memperoleh bingkisan yang abadi. Rasa syukur yang terbit dari kesadaran bahwa kita diberi kesempatan berkaca di telaga bening jiwa anak-anak kita. []
Jagalan 151016