Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berkaca di Telaga Bening Buku "Aku dan Cerita Kami"

15 Oktober 2016   23:26 Diperbarui: 16 Oktober 2016   00:01 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu yang tersedia sangat singkat. Pokoknya saya harus mampir ke perpustakaan EAN. Sejenak saya berbincang dengan Ibu Nadiroh As Sariroh, pengelola Perpustakaan EAN di Kadipiro Yogyakarta. Beliau memberi kami hadiah dua buah buku.

Aku dan Cerita Kami judul buku itu. “Ini buku karya anak-anak Playgroup dan TIKT Al Hamdulillah,” ujar Ibu Nadiroh. Hebat, anak-anak TK sudah menulis cerita dan menerbitkan buku. Ternyata dugaan saya keliru. Anak-anak tidak menulis cerita karena mereka belum bisa menulis, demikian penjelasan Ibu Nadiroh. Anak-anak menceritakan pengalaman mereka lalu guru menulisnya menjadi cerita.

Pembicaraan singkat dengan Ibu Nadiroh justru mengharubiru pikiran saya. Desakan-desakan gagasan membuat saya gelisah. Segera ingin tiba di Jombang, buka laptop, menulisakannya hingga tuntas. Rombongan mampir di Malioboro. Saya jadi tidak selera. Saya pilih nongkrong—sendirian—memesan kopi panas di warung kopi. Desakan-desakan itu saya catat di notes HP.

Mengapa saya gelisah? Saya menemukan benang merah pertemuan ngaji bab multimedia (Gagap Melukis Gagasan dan Serbuan Digitalisasi Audio Visual), terutama apa yang ditekankan oleh Pak Toto Raharjo dengan cerita singkat perihal karya anak-anak TKIT Alhamdulillah. Generasi milenial kita kerap mengalami gagap gagasan saat menyampaikannya dalam komunikasi lisan. Terjadi lompatan tahap komunikasi dari oral ke pola digitalisasi audio visual secara serampangan, masif, dan serba mentah.

Namun, tidak demikian dengan isi buku “Aku dan Cerita Kita”. Inayah Al Wahfiyah, Kepala  TKIT Al Hamdulillah dalam Kata Pengantar menulis, buku ini merupakan kumpulan cerita anak yang digali guru dalam kegiatan di kelas maupun kegiatan di luar yang dapat merangsang aspek berbahasa ekspresif secara sederhana, sesuai dengan usia dan tahap perkembangannya.

Buku tersebut terkesan 'melawan arus' karena sering dijumpai anak Plyagroup dan TK berlomba-lomba belajar membaca, menulis, menghitung (calistung). Siapa mencapai garis finish lebih awal, semakin cepat anak bisa calistung, dia menjadi pemenang. Playgroup dan TK yang dalam waktu singkat berhasil membisakan anak baca-tulis, diakui sebagai 'sekolah unggulan' yang berkualitas. 

Menabung Tragedi

Menjadi pemenang juga dirasakan para orangtua. Mereka akan merasa bangga, sukses, dan karena itu, bekal mencapai sukses masa depan anak telah disiapkan sejak dini. Berbekal calistung anak-anak siap menggapai sukses. Untuk menjadi pemenang masa depan, orangtua kadang mendesak pihak pengelola Plyagroup dan TK agar mengadakan pelajaran calistung. Prgamatisme kepentingan sesaat seperti itu menjadikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bergeser menjadi Sekolah Anak Usia Dini (SAUD).

Kenyataan itu dikuatkan oleh calistung menjadi salah satu tes yang harus berhasil dilalui oleh “lulusan” TK agar diterima di sekolah dasar. Entah apa sejarah yang meletarbelakangi sehingga untuk masuk sekolah dasar anak harus melalui sejumlah tes. Ada yang memberi nama tes deteksi dini, tes penempatan, tes pemetaan. Apa pun nama tes, orangtua menanggapinya sebagai tes yang menentukan nasib diterima atau tidak anak tersebut di sekolah dasar.

Lengkap sudah derita anak-anak itu. Sudah jatuh, tertimpa tangga, tidak ada yang menolong, dan menerima tuduhan kesalahan ngapain pakai jatuh segala.

Siapa peduli pada nasib anak-anak. Gugon tuhon prasangka kebudayaan sekolah mengaburkan kebutuhan dasar atau fitrah berbahasa anak. Kamuflase itu menghasilkan prestasi berbahasa yang semu. Keterampilan berbahasa yang direduksi sekadar bisa baca dan bisa tulis sesungguhnya mengamini 'pohon bahasa' anak tak ubahnya pohon dengan akar yang kering. Logika berbahasa—sebagai akar yang berbuah ide, gagasan, konsep atau ekspresi perasaan tidak ditumbuh-kembangkan apalagi dirawat secara serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun