Siapa Kartolo? Kartolo dan ludruk nyaris tak terpisahkan. Beruntung saya pada bulan Mei lalu saat gelaran Ihtifal Maiyah di desa Mentoro Sumobito Jombang menyaksikan sang maestro ludruk tampil. Mereka manggung hanya bertiga: Kartolo, Ning Tini, Sapari. Cerita dan alur yang sederhana menjadi ciri khas mereka. Bukan hanya itu, dagelan spontan khas nJombang Jawa Timuran kerap nyelonong. Di tengah pertunjukan penonton dibuat terbahak-bahak. Tiga serangkai Kartolo Cs memang handal mengocok perut.
Pada awal berdiri Kartolo Cs berisi enam personil, yaitu Cak Kartolo, Ning Tini, Yakin, Bu Sumilah, Munawar dan Sapari. Di tengah perjalanan Yakin dan Bu Sumilah digantikan Sokran dan Basman. Multi talenta dua pemain ludruk ini tak kalah dengan Kartolo. Walaupun Basman sudah meninggal dunia, penggemar Kartolo Cs pasti masih ingat gaya plesetan dan tertawa khasnya.
Beda Kartolo beda pula Markeso. Ketenaran seniman ludruk asal Jombang dasawarsa 1920 hingga 1960 mengalahkan sosok Walikota Surabaya kala itu. Markeso terbilang cukup istimewa karena ia tampil ijen, solo, seorang diri. Ludruk garingan adalah spesialis Cak Markeso. Sekarang kita mengenalnya sebagai stand up comedy.
“Gak katik kernet, Rek (Tidak pakai pembantu)!” ujarnya di awal pentas yang disambut ger-geran penonton.
Ya, gak katik kernet. Cak Markeso berdiri di atas panggung, nggandang, parikan, jula-juli, menjalankan alur cerita, menggenggam pusat kesadaran psikologi komunikasi penonton seorang diri—tanpa musik pengiring. Musik cukup keluar dari mulut Cak Markeso sendiri.
Komunikasi interaktif dengan penonton? Cak Markeso paling jago. Ia kerap menanggapi celetukan penonton secara spontan, “menghajar secukupnya”, lalu menutupnya dengan banyolan yang bikin perut kaku. Cak Markeso berdialektika dengan penonton dan sekaligus dengan dirinya. Semua itu pasti membutuhkan kecerdasan tingkat tinggi.
Cak Markeso dan Kartolo selalu menampilkan cerita sehari-hari yang disesaki problem. Soal rumah tangga, suami suka main judi, remaja yang nakal, gaji pas-pasan, uang belanja yang telat dan sejumlah persoalan mikro lainnya. Tidak dengan ceramah dan berorasi sundul langit, persoalan itu disajikan dengan suasana segar, guyon, mbanyol, sehingga penonton tidak merasa digurui dan diadili. Mereka tertawa terbahak-bahak. Lalu diam-diam, dalam hati, mengendap semacam kesadaran yang hakiki. Di balik tawa mereka ada pencerahan.
Daya tarik Kartolo Cs tercermin juga dari judul-judul kaset kidungan ludruk. Membaca judulnya saja sudah mengundang senyum: Kemanten Puret, Kuro Kandas, Jrangkong Krinan, Ratu Cacing Anil, Thenguk-thenguk Nemu Gepuk, Juragan Roti Sepet, Pendekar Remek, Bayi Mata Keranjang. Kurang lebih ada sembilan puluh judul kaset yang pernah direkam oleh Kartolo Cs.
Dalam keseharian Kartolo tak beda dengan saat di panggung. Ia tetap ndagel dan kadang konyol. Seorang teman pernah bercerita saat datang ke rumah Kartolo.
“Monggo dimakan, Mas. Ini kue lebaran,” ujar Kartolo.
“Kue lebaran ya, Cak?”
“Ya. Kue sisa lebaran...lebaran lima tahun lalu!” Spontan kawan saya ngakak sambil terbatuk-batuk.
Cukup menarik memang mencermati laku “sufistik” Kartolo. Menurut Sindhunata, budayawan asal Kota Batu, Kartolo menerapkan ilmu ngglethek. Selain tercermin dari laku hidupnya yang sederhana dan bersahaja, ilmu ngglethek dijumpai pula pada bait-bait parikan yang disenandungkannya.