Menjelang subuh rombongan yang hendak menuju dusun Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang tiba lebih awal di masjid Sendangbiru. Tidak ketinggalan beberapa anak kecil, Dinda dan Tata, turut serta bersama ibunya masing-masing. Perjalanan tengah malam dari Jombang menuju Malang bagian selatan cukup lancar. Titik kemacetan yang biasanya menghambat perjalanan di siang atau sore hari terasa lengang di atas jam sembilan malam.
Kendati demikian jarak tempuh yang cukup jauh dengan jalan berkelok sepanjang Kasembon sampai kota Batu, Turen sampai Gedangan, dengan hawa dingin udara malam, memerlukan daya tahan fisik yang prima. Sebelum berangkat para ibu mengantisipasi hal tersebut dengan mengoleskan Minyak Kayu Putih Cap Lang di perut, dada, dan punggung buah hatinya.
Berkunjung ke dusun Bajulmati akan selalu berbasah-basah ria. Mulai dari menelusuri sungai menuju pantai Ungapan, berenang di pantai Leter, hingga menyeberangi ceruk di pintu masuk goa Coban, dan menangkap eksotika dinding goa—semua itu membuat pakaian selalu basah dan badan terasa dingin.
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Ombak pantai Leter yang ramah, menyapa pasir putih yang lembut, membuat kawan-kawan, juga Dinda dan Tata, betah berlama-lama. Hanya perut kami terasa keroncongan. Tidak berapa lama masakan khas dusun sudah datang. Sayur lodeh, sambal yang pedas, ikan laut yang digoreng kering, kerupuk, seperti memanggil dan menggoda selera makan. Duduk di hamparan pasir putih kami menuntaskan rasa syukur menikmati masakan ibu-ibu dusun yang sedap luar biasa itu.
Usai menyantap makan siang, kami seolah tak ingin beranjak dari pasir putih pantai Leter. Pak Izar, pengabdi dan pemandu kegiatan di dusun Bajulmati, memberi kesempatan kepada kami untuk menikmati deburan ombak. Dinda dan Tata kembali beraksi berbasah ria. Pukul 14.00 WIB kami harus meninggalkan pantai Leter.
Rute selanjutnya adalah menuju goa Coban. Dengan pakaian basah dan badan dingin kami kembali menyeberangi muara Ungapan menggunakan perahu dayung. Truk tua sudah menunggu di pinggir pantai. Naik truk di bak belakang dengan paparan angin pesisir menghadirkan keceriaan canda dan tawa.
Setelah perut diisi air anti dehidrasi itu tracking menuju goa Coban dilanjutkan. Pelampung dan alat penerangan untuk memasuki goa sudah disiapkan. Medan sepanjang sungai yang kami lalui tidak terlalu berat. Hanya batu-batu segede rumah seakan menghadang jalan. Namun, jalan setapak yang sering dilalui para pencari kayu di hutan membantu kami tanpa harus melalui rute yang sulit.
Pak Izar meminta kami memastikan pelampung sudah dipakai dengan benar. Di depan sebuah ceruk yang entah berapa puluh meter kedalamannya menyambut. Di seberang tampak mulut goa Coban. Ya, untuk mencapai mulut goa kami harus berenang. Yang tidak bisa berenang akan dipandu oleh teman-teman Bajulmati. Terlampau sering masuk ke dalam goa Coban, saya memutuskan untuk menunggu di luar. Bersama Mas Andre saya sudah menyiapkan pancing dan umpan.
Satu persatu rombongan tiba di mulut goa dengan selamat. Tak ketinggalan Dinda dan ibunya berhasil menyeberangi ceruk dengan dipandu oleh Pak Izar. Tata tidak ikut masuk goa karena ibunya sudah lelah.
Mas Srianto berenang sambil mendekap Dinda. Bocah perempuan itu tidak bergerak. Ibunya tampak gugup sekali. Sampai di pinggir ceruk Dinda segera berpindah ke gendongan saya. Mas Srianto menyusul ibu Dinda.
“Sejak masuk goa, Dinda sudah menggigil kedinginan,” kata ibunya. “Saya mau balik dia malah memaksa saya agar ikut masuk.”
“Dinda sudah kelelahan,” kata saya.
Ibunya mencoba membangunkan. Gugup. “Dinda…Dinda…ini Mama, Sayang…”
“Ada minyak kayu putih?” spontan saya bertanya.
“Ada di tas merah itu.”
Dinda masih lemas tertidur. Inikah kondisi hipotermia itu? Kondisi yang terjadi saat temperatur tubuh menurun drastis di bawah suhu normal yang dibutuhkan oleh metabolisme dan fungsi tubuh, yaitu di bawah 35°C. Saya tidak tahu pasti.
“Tambah lagi minyak kayu putih,” ujar saya. Mama Dinda menuangkan lagi Minyak Kayu Putih Cap Lang hingga telapak tangannya penuh dengan minyak. Punggung dan dada Dinda kembali diolesi minyak kayu putih.
“Biar saya menggendong Dinda,”
Saya serahkan Dinda ke gendongan ibunya. Minyak kayu putih saya oleskan di telapak kaki Dinda. Kehangatan tubuh seorang ibu adalah terapi ampuh bagi sang anak. Di dekapan sang ibu, Dinda membuka mata. Ibunya merasa lega. Baju Dinda yang basah segera diganti baju yang kering. Dinda minum teh manis yang masih hangat. Kondisi badannya pulih seperti semula.
“Mama, ayo masuk goa lagi,” celoteh Dinda. Anak-anak memang tak kenal menyerah. Menemani mereka belajar dan berpetualang memang mengasyikkan. Penting juga untuk diperhatikan adalah menyiapkan obat dan minyak kayu putih. Tepat sekali pilihan Mama Dinda membawa Minyak Kayu Putih Cap Lang. Kondisi darurat memang tidak bisa diduga. Dekapan hangat ibu berpadu dengan aromatheraphy Minyak Kayu Putih Cap Lang menyelamatkan Dinda dari hipotermia.
Di ruang tamu rumah Pak Izar kami berkumpul berbagi cerita bersama warga dusun Bajulmati. Acara dilanjutkan makan bersama. Dinda makan lahap sekali. Suasana makan malam yang sederhana dan bersahaja. Tercium juga aromatherapy Minyak Kayu Putih Cap Lang menambah hangat suasana.[]
Achmad Saifullah Syahid (Facebook | Twitter)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H