Harapan guru honorer agar diangkat menjadi pegawai negeri sipil sebenarnya memiliki dua konsekuensi. Pertama, kesejahteraan memang akan meningkat. Kedua, mereka akan masuk ke dalam aturan main regulasi politik pendidikan yang muatannya banyak dibebani oleh tugas-tugas teknis (hard skill), dan di saat yang sama, pelan tapi pasti, bisa melumpuhkan kepedulian dan ketangguhan sebagai sosok pejuang pendidikan.
Sebenarnya potensi para guru honorer dan guru tidak tetap yayasan cukup besar. Mereka adalah pejuang sunyi pendidikan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, total jumlah guru 3.015.315. Jumlah itu terdiri dari 2.294.191 guru PNS dan guru tetap yayasan (GTY). Sisanya, sebanyak 721.124 merupakan merupakan guru tidak tetap atau honorer K2.
Tidak bermaksud mengecilkan semangat dan cita-cita guru, menjadi guru PNS sebenarnya tidak harus menjadi target akhir, selama pemerintah peduli terhadap kesejahteraan mereka. Bertahan menjadi guru honorer selama bertahun-tahun menunjukkan kualitas pengabdian yang tak diragukan lagi. Potensi idealisme itu seharusnya diapresiasi oleh pemerintah dengan pemberian gaji dan tunjangan yang setara dengan guru golongan manapun.
Apalagi kalau dicermati, guru PNS dan guru non PNS tugas profesi mereka tidak berbeda. Apa kalau guru PNS pasti lebih profesional dibandingkan guru non PNS? Bukankah guru bukan sekadar profesi, tetapi ia panggilan hati? Apa kalau guru PNS pasti lebih ikhlas mengabdi dibanding guru non PNS? Lantas mengapa tercipta “kesenjangan” pemberian besaran gaji dan tunjangan antara guru PNS dan non PNS? Di beberapa kasus tidak jarang guru-guru non PNS di sekolah swasta memiliki kinerja lebih baik.
Iklim politik pendidikan seperti itu pada akhirnya menyeret tidak sedikit lulusan perguruan tinggi melamar menjadi guru demi mengejar fasilitas gaji, tunjangan, dan pensiun. Guru dipandang sebagai profesi semata. Pekerjaan biasa untuk sekadar memiliki kepastian menerima gaji tiap bulan. Mereka tergiur oleh ke-PNS-an daripada muatan nilai kemuliaan seorang guru.
Guru, Profesi Penjual Jasa Pengetahuan
Data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) tahun 2015, menyebutkan dari total Pegawai Negeri Sipil (PNS) 4.375.009 orang, 2.003.151 orang atau 45,79 persen di isi pegawai fungsionaris. 1.765.410 orang atau 40,35 persen adalah guru. Sisanya 13,86 persen adalah petugas kesehatan dan pegawai strukturan lainnya.
Guru PNS mengisi 40,35 persen formasi pegawai negeri sipil. Jumlah yang cukup besar. Tiap tahun selalu ada guru pensiun. Di tengah sulitnya mencari pekerjaan, menjadi guru PNS bisa dijadikan sasaran. Apa akibatnya?
Menjadi guru tak ubahnya seorang penjual jasa pengetahuan, layaknya penjual jasa yang lain seperti dokter, pengacara, arsitek, yang terhubung secara fungsional dengan peserta didik—bukan terhubung secara kemanusiaan.
Sudah kehilangan makna kemuliaan sebagai guru, Indonesia termasuk negara yang menggaji guru cukup rendah. Berdasarkan laporan Education Efficiency Index, dari 30 negara yang masuk dalam survei tersebut, gaji guru di Swiss merupakan yang tertinggi dengan nilai $68.000 atau sekitar Rp950 juta per tahun. Angka ini lebih tinggi daripada gaji rata-rata kelas menengah di Swiss.
Gaji guru tertinggi berikutnya adalah Belanda, Jerman, dan Belgia. Di Perancis, gaji rata rata guru senilai $33.000 per tahun, sedangkan Yunani $25.000 pertahun. Indonesia berada di urutan paling buncit dengan gaji $2.830 atau Rp39 juta per tahun. Gaji guru PNS ada dalam rentang Rp1.486.500 dan Rp5.620.300, bergantung pada golongan kepegawaiannya.