Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca “Kesaktian” Kanjeng Dimas

4 Oktober 2016   02:00 Diperbarui: 4 Oktober 2016   10:06 1994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: bangka.tribunnews.com

Benar, namun rasionalitas khasiat-khusus sebuah batu berada pada “wilayah” yang selama ini berseberangan bahkan bertentangan dengan “wilayah ilmiah” para akademisi. Mengapa bertentangan? Karena rasionalitas ilmiah akademik bergerak pada wilayah paling elementer, wilayah dimana Marwah cukup intens menekuninya. Meniliti batu Ponari itu justru upaya tidak rasional yang dilakukan oleh mereka pemegang otoritas rasionalitas.

Tumpang tindih, campur aduk, silang sengkarut, salah paham semakin tampak pada Mas kanjeng yang disebut guru spiritual. Melakoni menjadi guru yang benar-benar guru beratnya bukan main. Ditambah beban muatan makna spiritual yang dikonotasikan dengan hal-hal gaib, irasional, lintas ruang dan waktu, ilmu laduni, anugerah Tuhan. Produknya adalah kesaktian yang diperagakan. Guru-spritual-sakti, rangkaian dialektika makna yang tidak nyambung.

Atau paparan itu semua terlalu muluk. Taat pribadi bersama ribuan pengikutnya adalah cermin kemiskinan yang akut: miskin dalam segala subtansi kondisi yang disebut miskin. Atau lakon Padepokan Dimas Kanjeng itu layaknya sinetron di televisi, sebuah sandiwara yang memiliki rating cukup tinggi.

Sebab saya pernah disuguhi sandiwara dengan lakon berbeda. Seorang kakek tua, wajahnya cukup bersih, tutur katanya lembut melakukan pembicaraan “live” dengan Bung Karno melalui telepon genggamnya. Kakek itu mengaktifkan loud hpnya. Ruangan hening seketika. Suara Bung Karno terdengar jelas. Sekumpulan orang terpukau dan terpaku. Dalam hati saya bertanya, “Itu bung Karno penjual martabak ya…?” []

Jagalan 41016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun