Benar, namun rasionalitas khasiat-khusus sebuah batu berada pada “wilayah” yang selama ini berseberangan bahkan bertentangan dengan “wilayah ilmiah” para akademisi. Mengapa bertentangan? Karena rasionalitas ilmiah akademik bergerak pada wilayah paling elementer, wilayah dimana Marwah cukup intens menekuninya. Meniliti batu Ponari itu justru upaya tidak rasional yang dilakukan oleh mereka pemegang otoritas rasionalitas.
Tumpang tindih, campur aduk, silang sengkarut, salah paham semakin tampak pada Mas kanjeng yang disebut guru spiritual. Melakoni menjadi guru yang benar-benar guru beratnya bukan main. Ditambah beban muatan makna spiritual yang dikonotasikan dengan hal-hal gaib, irasional, lintas ruang dan waktu, ilmu laduni, anugerah Tuhan. Produknya adalah kesaktian yang diperagakan. Guru-spritual-sakti, rangkaian dialektika makna yang tidak nyambung.
Atau paparan itu semua terlalu muluk. Taat pribadi bersama ribuan pengikutnya adalah cermin kemiskinan yang akut: miskin dalam segala subtansi kondisi yang disebut miskin. Atau lakon Padepokan Dimas Kanjeng itu layaknya sinetron di televisi, sebuah sandiwara yang memiliki rating cukup tinggi.
Sebab saya pernah disuguhi sandiwara dengan lakon berbeda. Seorang kakek tua, wajahnya cukup bersih, tutur katanya lembut melakukan pembicaraan “live” dengan Bung Karno melalui telepon genggamnya. Kakek itu mengaktifkan loud hpnya. Ruangan hening seketika. Suara Bung Karno terdengar jelas. Sekumpulan orang terpukau dan terpaku. Dalam hati saya bertanya, “Itu bung Karno penjual martabak ya…?” []
Jagalan 41016