Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Permasalahan Gizi Anak Masih Menghantui

3 Oktober 2016   13:32 Diperbarui: 3 Oktober 2016   14:02 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.klikdokter.com/

Siapa tidak menginginkan memiliki buah hati yang sehat, ceria, cerdas. Anak-anak menjadi tambatan hati bagi ayah dan ibunya. Berbagai upaya pendidikan, kesehatan, hingga biaya jaminan masa depan kerap diupayakan supaya sang anak tiba di ladang masa depan tanpa hambatan.

Namun, patut disayangkan dalam sejumlah kasus idealisme orangtua kerap menjadikan anak sebagai objek. Atau dengan ungkapan lebih gamblang, anak adalah sasaran ambisi ayah dan ibu. Bukan dalam tema pendidikan saja—nyaris dalam pola pengasuhan anak tak ubahnya boneka yang harus manut pada apa kata ayah atau ibu atau pembantu.

Pola pengasuhan di rumah dituding sebagai salah satu sebab terjadinya malnutrisi pada anak. Gaya hidup yang serba instan dan cepat mewarnai pula gaya pengasuhan anak. Ditambah pola bekerja kedua orangtua yang padat menyebabkan asupan gizi pada anak luput dari perhatian. Keluarga dari status sosial mapan menengah ke atas tidak otomatis bebas dari keadaan malnutrisi.

Malnutrisi adalah istilah umum untuk suatu kondisi medis yang disebabkan oleh pemberian atau cara makan yang tidak tepat atau tidak mencukupi. Malnutrisi sering dikaitkan pada keadaan undernutrition (gizi kurang) yang diakibatkan oleh konsumsi makanan yang kurang, penyerapan yang buruk atau kehilangan zat gizi secara berlebihan. Sebaliknya, keadaan overnutrition (gizi berlebih) akibat pola makan yang berlebih atau asupan gizi tidak seimbang menunjuk pada status yang sama sebagai malnutrisi.

Sejumlah negara di Asean termasuk Indonesia belum bebas sepenuhnya dari gizi buruk pada anak-anak. UNICEF, WHO dan ASEN menyatakan sebagian anak mengalami obesitas dan sebagian yang lain mengalami hambatan pertumbuhan dan kekurangan berat badan.

Mengutip BBC.com, di Indonesia proporsi masalah pertumbuhan anak persis sama, yakni 12 persen anak-anak kelebihan berat badan, dan 12 persen mengalami kekurangan berat badan. Proporsi tersebut menjadi sinyal bahwa sejak dalam kandungan anak-anak telah mengalami permasalahan gizi. Calon bayi mengalami penyesuaian sedemikian rupa supaya mampu bertahan hidup dalam rahim ibunya. Adaptasi terus dilakukan oleh calon jabang bayi, sehingga mekanisme tubuhnya semakin terbiasa dengan kondisi tersebut. Keadaan tubuh itu akan terbawa hingga ia usai dilahirkan.

Banyak ibu hamil di Indonesia mengalami kekurangan protein dan zat gizi mikro yang bisa memengaruhi tumbuh kembang sang janin dan kesehatan sang ibu. Hasil studi yang dilakukan oleh Sarihusada bersama Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology Center (SEAFAST) di Bogor (2011) menemukan fakta bahwa sebanyak 1 dari 4 wanita usia subur kekurangan protein dan asupan multi mikronutrient, 6 dari 10 wanita hamil mempunyai asupan protein dan beberapa zat gizi mikro yang terlalu rendah dan 1 dari 3 wanita menyusui kekurangan protein dan asupan multi mikronutrient.

Dewasa ini, permasalahan gizi masih menghantui. Bukan hanya gizi kurang saja, gizi lebih pun juga menjadi persoalan yang harus dihadapi. Mengutip data hasil riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan, prevalensi obesitas pada usia balita adalah 11,9% dan prevalensi gizi kurang pada balita adalah 19,6%.

Obesitas pada usia balita kerap tidak disadari oleh orangtua. Mereka jarang mengakui bobot tubuh anak mereka sejatinya sudah melampaui batas normal. Anak dengan berat badan melampaui batas dipandang sebagai anak yang sehat, lucu, dan menggemaskan. Padahal di balik kondisi tersebut punya dampak kesehatan yang serius.

Orangtua modern pun tidak jarang terjebak pada stigma anak yang gemuk—dengan potensi obesitas—menunjukkan mereka telah memenuhi kebutuhan gizi anak. Mereka cukup puas menyaksikan pertumbuhan anak yang "menggemuk" sebagai bukti bahwa gizi anak-anak telah terpenuhi. Bukan hanya di Indonesia, pada beberapa negara maju obesitas belum dipahami sebagai ancaman kesehatan masa depan anak. Dalam kajian yang dilansir British Journal of General Practice, sebanyak 2.976 keluarga di Inggris ditanyai mengenai bobot tubuh anak mereka. Dari jumlah tersebut, hanya empat orang tua yang mengira anak mereka kelebihan berat badan.

“Orang tua modern tidak mengakui anak mereka obesitas. Jika orang tua tidak mengakui anak mereka obesitas, kecil kemungkinan mereka akan berbuat sesuatu untuk menolong anak mereka mencapai berat yang sehat. Ini adalah potensi krisis kesehatan publik,” kata Profesor Russell Viner, salah seorang peneliti dari London School of Hygiene and Tropical Medicine and Great Ormond Street Hospital.

Gaya hidup modern tidak sepenuhnya sehat. Kebiasaan anak mengkonsumsi makanan tak bergizi atau junk food dan minuman cepat saji semakin memicu obesitas. Namun keadaan itu tidak berdiri sendiri. Naiknya kekayaan nasional disertai naiknya ketersediaan makanan membuat konsumsi lemak per kapita naik dua kali lipat. Makanan olahan juga dikonsumsi dengan tingkat yang lebih tinggi, khususnya di wilayah perkotaan.

Kita boleh sedikit lega karena tingkat kematian balita mengalami penurunan—dari 85 tiap 100 kelahiran pada tahun 1990, menjadi 31 pada 2012. Kendati demikian, permasalahan malnutrisi pada anak masih menghantui. 

Kita perlu berpikir ulang tentang makna lapar, kenyang, sehat, enak, sedap, maknyus, atau idiom lainnya seputar makanan dan aktivitas makan. Pelan-pelan penuh kesabaran kita bisa mengajak anak berpikir dan bersikap misalnya, yang primer pada sebuah makanan bukanlah enak atau tidak enak. Tapi, makanan tersebut sehat dan menyehatkan ataukah tidak. Mengajari anak membaca komposisi makanan kemasan merupakan langkah jitu mengedukasi perihal memilih makanan yang tepat, sehat, dan menyehatkan.

Namun, sayangnya, kita terlanjur memiliki kebiasaan pola pikir enak atau tidak enak bukan hanya saat menyikapi makanan, bahkan tanpa disadari kita kehilangan kesanggupan memilah dan memilih mana primer mana sekunder.[]

Jagalan 031016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun