Hari Anak Nasional memang sudah lewat pada Juli lalu. “Akhiri Kekerasan pada Anak” adalah tema HAN 2016. Tema bersifat seruan itu menyasar pada siapa saja, institusi apa saja, lembaga apa saja, agar bukan hanya peduli, tapi turut menciptakan kondisi dan situasi lingkungan untuk benar-benar mengakhiri kekerasa pada anak.
Sejumlah upaya dilakukan untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan. PBB dan banyak pemerintahan di dunia termasuk Indonesia berusaha melindungi anak dengan berbagai payung hukum. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990. Pengembangan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan dunia untuk menciptakan ”World Fit for Children” gencar diselenggarakan.
Masih lekat di ingatan kita Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak ditandatangani presiden, menyusul sejumlah kasus tindakan kekerasan seksual terhadap anak-anak semakin marak belakangan ini.
"Perpu ini dimaksudkan untuk kegentingan yang diakibatkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak yang semakin meningkat secara signifikan," kata Joko Widodo dalam jumpa pers di Istana Merdeka, Rabu (25/05).
Dalam studi yang dilakukan pada rentang 1987-2005 telah tercatat 133-275 juta anak di bawah usia 17 tahun mengalami kekerasan di rumah. Angka tersebut boleh jadi angka estimasi, mengingat tidak setiap korban melaporkan kasusnya. Jumlah kasus lebih tinggi akan ditemukan seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi yang akhir-akhir ini dituding sebagai pemicu tindak kekerasan pada anak. Lebih Ironis lagi kekerasan itu terjadi di lingkungan rumah.
Masih dari hasil studi Unicef lingkungan rumah memberikan peluang anak-anak tak terlindungi secara hukum terhadap kekerasan fisik hingga 98 persen, dan yang terproteksi secara hukum hanya 2 persen. Sementara itu, tempat pengasuhan alternatif peluang tak terproteksi hingga 78 persen, 18 persen tak diketahui, dan 4 persen terproteksi. Bagaimana dengan sekolah? Sama saja, hanya 42 persen anak-anak terproteksi secara hukum, sisanya 58 persen tak terproteksi.
Kejahatan seksual masih menjadi ancaman paling mengerikan bagi anak. Jumlah kasus terus meningkat. Menurut Komnas Anak pada 2010, “hanya” 2.046 laporan yang masuk, dan 42 persen berupa kekerasan seksual. Pada 2011 terdapat 2.467 laporan, kejahatan seksual makin mengancam hingga 52 persen. Pada 2012 sebanyak 2.637 laporan, 62 persen adalah kekerasan seksual. Pada 2013 meningkat menjadi 2.676 laporan, 54 persen juga menyangkut kejahatan seksual.
Dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak berbasis online, menurut Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu seperti dilansir KOMPAS.com, berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak 2011 hingga 2014, jumlah anak korban pornografi dan kejahatan online di Indonesia mencapai 1.022 anak.
Dan Jawa Timur “dinobatkan” sebagai provinsi dengan jumlah kekerasan seksual paling tinggi. Riau, Sumatera Utara, NTT dan Yogyakarta adalah urutan berikutnya. "Dari pantauan Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos) sejak Januari hingga April 2016 tertinggi kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Timur," kata Direktur Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial Kementerian Sosial, Sonny W.
Berdasarkan data Pusat Studi Gender dan Perlindungan Anak Universitas Muhammadiyah, Sidoarjo, Jawa Timur, terdapat 298 kasus kekerasan terhadap anak yang didapat sepanjang Januari hingga Mei 2016. Sebanyak 298 kasus tersebut perinciannya adalah 170 kasus kejahatan seksual disertai kekerasan, 71 kasus penganiayaan, 40 kasus pencabulan, sembilan kasus anak dibawa lari, satu kasus pengeroyokan, dan satu kasus eksploitasi anak.
Bahkan di lingkungan yang semestinya anak merasa aman dari segala bentuk intimidasi, ancaman, dan kekerasan, namun kenyataannya mata merah para predator anak selalu mengintai. Dunia semakin tua ataukah keluarga mengalami keropos pondasi sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama?
Mengembalikan peran dan fungsi keluarga dalam kondisi gawat darurat kejahatan seksual anak bukan hanya penting—bahkan fardlu ‘ain alias wajib. Empat konsep yang menjadi landasan peringatan Harganas ke-23, yaitu keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya, keluarga berbagi semestinya tidak mandeg sebagai jargon semata.
Proses edukasi yang melibatkan satuan terkecil keluarga tidak bisa ditawar lagi. Keluarga harus kembali diberdayakan—bukan dalam konteks kesejahteraan ekonomi saja—peran dan fungsi keluarga sebagai salah satu pilar pendidikan ditegakkan lagi. Salah satu mata pelajaran wajib adalah memahami pendidikan reproduksi dan kejahatan seksual.
Mata pelajaran wajib itu bisa menjadi materi untuk mengedukasi anggota keluarga dan masyarakat lingkungan terdekat anak. Seperti diberitakan KOMPAS.com, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) segera menerbitkan kurikulum baru pada akhir tahun 2016. Kurikulum tersebut nantinya akan berisikan mengenai pendidikan reproduksi seksual dan kejahatan seksual.
Kendati demikian, seperti ada lubang yang menganga dalam kehidupan keluarga, dan untuk menambalnya kita tidak perlu bergantung dan menunggu kurikulum itu benar-benar terbit. Lubang itu akan menghisap siapa saja, juga anak-anak, mengurungnya di dalam ruang gelap tanpa jendela. Dalam ruang gelap itulah para predator bermata merah berpesta dengan menjadikan anak-anak sebagai tumbal kesenangannya.
Lubang gelap jangan-jangan ada di hati kita pula. Cinta—kita tutup lubang itu dengan cinta. Selebihnya mari menjaga stamina untuk mengayomi anak-anak seraya tidak lupa berdoa.
Ya, Allah. / Di dalam masa yang sulit ini, / di dalam ketenangan / yang beku dan tegang, / di dalam kejenuhan / yang bisa meledak menjadi keedanan, / aku merasa ada muslihat / yang tak jelas juntrungannya. / Ya, Allah. / Aku bersujud kepada-Mu / Lindungilah anak cucuku. – WS Rendra.
Jagalan 021016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H