Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tragedi yang Terlanjur Lahir dalam Sebuah Buku

30 September 2016   16:34 Diperbarui: 30 September 2016   17:01 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://www.suaranw.com/

Buku menjadi saksi bisu, yang dilarang dan diburu, bagi sejarah yang menorehkan tragedi. Buku dianggap lebih berbahaya, lebih bersuara, dengan demikian dianggap lebih sanggup hidup dan memiliki seribu nyawa untuk mengarungi masa depan. Buku yang dilarang dan bahkan dibakar-bakar, tak lebih sebuah kumpulan kertas yang di atasnya tertulis huruf, kata, kalimat, paragraf berisi pikiran, ide, gagasan, atau apapun saja—yang dianggap berbahaya sehingga pantas dilenyapkan.

Pada bulan Mei lalu, sebuah buku berjudul The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman dan Biro Chusus PKI disita aparat Polres Sukoharjo, Jawa Tengah. Mengutip KOMPAS com, Kapolres Sukoharjo AKBP Andy Rifai membenarkan bahwa polisi mengamankan sejumlah buku yang diduga membuat ide pemahaman komunisme dari sebuah toko swalayan.

"Ada empat buah buku dengan judul yang sama pada hari Selasa lalu kami amankan dari sebuah toko swalayan karena dianggap bisa meresahkan. Kemudian, saya perintahkan jajaran saya untuk meninjau toko-toko buku yang lain," kata Andy saat dikonfirmasi, Kamis (12/5/2016).

Mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan pernah menuturkan, memang sempat ada peraturan pemerintah yang memberikan otoritas kepada Kejaksaan Agung untuk menyita buku-buku yang memuat ajaran komunisme atau berhaluan kiri. Namun, peraturan tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal senada diungkapkan pula oleh penulis Anton Kurnia. "Padahal, sejak tahun 2010, Mahkamah Konstitusi sudah mencabut kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pelarangan buku pada UU Nomor 4/PNPS/1963. Artinya, apa yang dilakukan oleh aparat melawan konstitusi," kata Anton saat dihubungi KOMPAS.com.

Praktek pelarangan buku di Indonesia muncul pertama kali pada akhir 1950 an, seiring dengan meningkatnya kekuasaan militer dalam perpolitikan Indonesia. Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan menutup tiga kantor berita—termasuk di antaranya Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer.

Pemberangusan buku yang melibatkan militer mendapat sorotan cukup tajam. Muhidn M Dahlan dalam "Ketegangan Literasi dan Militer" menulis, sampai di sini, hubungan literasi dan militer memang sangat rentan, jika tak bisa dibilang seperti air dan minyak. Namun, kultur literasi tak bisa berkembang dalam tubuh organisasi bersenjata yang menjadi pilar utama pertahanan dan keamanan negara. 

Sejarah pelarangan buku di Indonesia terbilang cukup "konsisten" sejak Orde Lama. Melalui payung hukum UU No. 4 tahun 1963 presiden Soekarno melarang buku dan barang cetakan yang dianggap bisa mengganggu ketertiban umum.

Sejak tahun 1959 hingga 2009, pemerintah Indonesia telah melarang lebih dari 300 buku. Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang yang bukunya cukup banyak dilarang. Hoakiau di Indonesia, dilarang pada 1959. Judul lain yang juga dibredel adalah Keluarga Gerilya, Perburuan, Mereka yang Dilumpuhkan, Subuh, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, hingga Tjerita Dari Blora. Setidaknya ada 24 judul buku karya penulis asal Blora ini yang dilarang pemerintah.

Selain buku atau majalan yang berbau Lekra, pemerintah Orde Baru melarang karya penulis yang dianggap dekat dengan Uni Soviet. Adalah Agam Wispi, Sobron Aidit, S. Anantaguna, atau Utuy Tatang Sontani penulis yang karyanya banyak dilarang dan dibredel.

Pada tahun 2009 ada lima buku yang dilarang beredar: (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun