Buku menjadi saksi bisu, yang dilarang dan diburu, bagi sejarah yang menorehkan tragedi. Buku dianggap lebih berbahaya, lebih bersuara, dengan demikian dianggap lebih sanggup hidup dan memiliki seribu nyawa untuk mengarungi masa depan. Buku yang dilarang dan bahkan dibakar-bakar, tak lebih sebuah kumpulan kertas yang di atasnya tertulis huruf, kata, kalimat, paragraf berisi pikiran, ide, gagasan, atau apapun saja—yang dianggap berbahaya sehingga pantas dilenyapkan.
Pada bulan Mei lalu, sebuah buku berjudul The Missing Link G 30 S: Misteri Sjam Kamaruzzaman dan Biro Chusus PKI disita aparat Polres Sukoharjo, Jawa Tengah. Mengutip KOMPAS com, Kapolres Sukoharjo AKBP Andy Rifai membenarkan bahwa polisi mengamankan sejumlah buku yang diduga membuat ide pemahaman komunisme dari sebuah toko swalayan.
"Ada empat buah buku dengan judul yang sama pada hari Selasa lalu kami amankan dari sebuah toko swalayan karena dianggap bisa meresahkan. Kemudian, saya perintahkan jajaran saya untuk meninjau toko-toko buku yang lain," kata Andy saat dikonfirmasi, Kamis (12/5/2016).
Mantan Menteri Pendidikan Anies Baswedan pernah menuturkan, memang sempat ada peraturan pemerintah yang memberikan otoritas kepada Kejaksaan Agung untuk menyita buku-buku yang memuat ajaran komunisme atau berhaluan kiri. Namun, peraturan tersebut sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal senada diungkapkan pula oleh penulis Anton Kurnia. "Padahal, sejak tahun 2010, Mahkamah Konstitusi sudah mencabut kewenangan Jaksa Agung untuk melakukan pelarangan buku pada UU Nomor 4/PNPS/1963. Artinya, apa yang dilakukan oleh aparat melawan konstitusi," kata Anton saat dihubungi KOMPAS.com.
Praktek pelarangan buku di Indonesia muncul pertama kali pada akhir 1950 an, seiring dengan meningkatnya kekuasaan militer dalam perpolitikan Indonesia. Larangan tersebut pada awalnya lebih banyak ditujukan pada pers. Sepanjang 1957, penguasa militer melarang penerbitan tidak kurang dari 33 penerbitan dan menutup tiga kantor berita—termasuk di antaranya Kantor Berita Antara. Puluhan wartawan diinterogasi, belasan diantaranya ditahan di rumah tahanan militer.
Pemberangusan buku yang melibatkan militer mendapat sorotan cukup tajam. Muhidn M Dahlan dalam "Ketegangan Literasi dan Militer" menulis, sampai di sini, hubungan literasi dan militer memang sangat rentan, jika tak bisa dibilang seperti air dan minyak. Namun, kultur literasi tak bisa berkembang dalam tubuh organisasi bersenjata yang menjadi pilar utama pertahanan dan keamanan negara.
Sejarah pelarangan buku di Indonesia terbilang cukup "konsisten" sejak Orde Lama. Melalui payung hukum UU No. 4 tahun 1963 presiden Soekarno melarang buku dan barang cetakan yang dianggap bisa mengganggu ketertiban umum.
Sejak tahun 1959 hingga 2009, pemerintah Indonesia telah melarang lebih dari 300 buku. Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang yang bukunya cukup banyak dilarang. Hoakiau di Indonesia, dilarang pada 1959. Judul lain yang juga dibredel adalah Keluarga Gerilya, Perburuan, Mereka yang Dilumpuhkan, Subuh, Di Tepi Kali Bekasi, Bukan Pasar Malam, hingga Tjerita Dari Blora. Setidaknya ada 24 judul buku karya penulis asal Blora ini yang dilarang pemerintah.
Selain buku atau majalan yang berbau Lekra, pemerintah Orde Baru melarang karya penulis yang dianggap dekat dengan Uni Soviet. Adalah Agam Wispi, Sobron Aidit, S. Anantaguna, atau Utuy Tatang Sontani penulis yang karyanya banyak dilarang dan dibredel.
Pada tahun 2009 ada lima buku yang dilarang beredar: (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.
Waktu itu ada tiga payung hukum yang menaungi pelarangan buku tersebut. Pertama, UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Menurut pasal 1 ketentuan tersebut, Jaksa Agung berwenang melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. Kedua, UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan, yakni pasal 30 yang menugasi institusi Kejaksaan untuk mengawasi peredaran barang cetakan, termasuk buku, majalah dan koran. Ketiga, pasal-pasal penyebar kebencian atau hatzaai artikelen di dalam KUHP.
Alasan ideologis, membahayakan Pancasila, meresahkan masyarakat, atau buku ditulis oleh lawan politik penguasa adalah jenis buku yang dilarang beredar. Setiap penguasa akan memiliki “selera” yang berbeda perihal jenis-jenis buku yang dilarang, selain buku tersebut mengusung ideologi yang dianggap membahayakan Pancasila dan UUD 1945.
Apakah pelarangan dan pembredelan buku hanya terjadi di Indonesia? Pelarangan buku juga terjadi di Amerika Serikat. Setidaknya 11.300 buku ditentang peredarannya sejak 1982, demikian menurut American Library Association. Untuk menggugah isu kebebasan membaca, sejumlah organisasi berbeda latar belakang kemudian membuat Banned Book Weeks.
Buku Invisible Man karya Ralph Ellison termasuk buku yang dilarang khususnya di seluruh perpustakaan sekolah di North Carolina. Pelarangan buku bergenre sastra itu cukup mengejutkan sejumlah kalangan yang menilai Invisible Man kurang diapresiasi. Kendati demikian, buku tersebut bukan hanya dihapus dari daftar bacaan, namun secara eksplisit dilarang. Keluhan dan laporan orangtua yang menilai jalan cerita dalam buku itu tidak pantas bagi anak usia di bawah 18 tahun menjadi pertimbangan Invisible Man dilarang.
The Diary of a Young Girl, Anne Frank; 500 Years of Chicano History in Pictures, Elizabeth Martinez; Where’s Waldo, Martin Handford; Twelfth Night, William Shakespeare adalah beberapa buku yang dilarang di AS. Direktur ALA Office for Intellectual Freedom, James LaRue menanggapi, pelarangan buku tersebut dilakukan bukan hanya oleh kaum konservatif, tetapi juga oleh petugas perpustakaan umum.
Begitu dahsyat ketika sebuah imajinasi, gagasan, atau pengalaman sejarah terlanjur lahir dalam sebuah buku. Terlepas dari kontroversi dan nilai manfaat yang setiap pembaca mengapresiasi dengan cara dan sikap yang berbeda, menulis tetaplah tugas sejarah, menanam benih-benih kebaikan untuk pohon masa depan generasi yang akan datang.
Pembredelan dan pelarangan buku nampaknya akan selalu ada dan terus berlangsung sepanjang ide, gagasan, pengalaman manusia mengalir dan mencari bentuknya dalam sebuah karya tulis. Sepanjang itu pula pembaca akan terus membaca dan berburu bacaan untuk memuaskan dahaga mereka. Buku yang diberangus akan kembali lahir, lahir kembali, menyapa pembaca, dengan cara dan jalannya sendiri—di atas atau di bawah tanah.
Paling tidak, dengan hadirnya sebuah buku gerbang optimisme masa depan yang benderang masih terbuka pintunya.[]
Jagalan 300916
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H