Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Compassion dan Kehidupan Puisi

29 September 2016   21:36 Diperbarui: 30 September 2016   19:10 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: http://hariansib.co/

Sekitar tahun 1994 saya menemukan buku 'Aku' yang ditulis Sjuman Djaya di toko buku paling lengkap Kota Malang. Saya beli saja buku tersebut dan ternyata skenario film. Di sekitar tahun yang sama, hanya tayang dua hari di gedung bioskop Kayu Tangan, saya sempat menonton film Yang Muda Yang Bercinta, dibintangi WS Rendra, karya tangan Sjuman Djaya juga.

Sampai hari ini setiap membaca ulang skenario 'Aku' berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Charil Anwar, imajinasi saya giring sedemikian rupa seolah-olah Chairil hadir dalam layar sinema. Melalui buku 'Aku' tak bosan saya menyelami kehidupan Chairil, memakai istilah Cak Nun, “kehidupan puisi”. Chairil—dengan sejumlah kenakalan, kenekadan, ke-nyeleneh-an untuk ukuran normal normatif zamannya, bukan hanya menghidangkan puisi-puisi yang sedu dan membakar; ia menghadirkan kehidupan puisi.

“Dan nampaknya anak ini sedang mempersiapkan diri untuk hidup sebagai penyair seutuhnya,” komentar Yasmin, menanggapi puisi Chairil, Nisan dan Rumahku, yang baru pertama kali dibacanya.

“Dia punya sifat yang kadang-kadang membuat kita menggelegak. Misalnya dia datang ke rumah meminjam buku, meminjam mesin tulis, tapi ada kalanya dia meminjam tanpa tanya, terus dibawa saja,” kenang HB Jassin. Subagio Sastrowardoyo pun kerap menjadi 'korban' kehidupan puisi Chairil. Buku-buku Subagio sering dipinjam Chairil. Beberapa buku dikembalikan, dan tidak sedikit yang berakhir di loak buku Pasar Senen. Subagio cukup sabar menghadapi tingkah Chairil. Buku di pasar loak ditebus kembali. “Chairil memiliki prinsip bukumu bukuku, rumahmu rumahku,” ungkap Subagio.

Dalam kata pembuka Derai-derai Cemara: Mengenang 50 Tahun Wafatnya Chairil Anwar (1989), Asrul Sani menulis kenangan indah saat bersama Chairil 'mencuri' buku di Toko Buku Van Dorp dan Kolff. Buku yang diincar Chairil adalah Also Sprach Zarathustra, karya filsuf Fredrich Nietzsche, berada di deretan buku-buku agama. Asrul diminta Chairil mengawasi penjaga toko. Penjaga toko lengah, sebuah buku diselipkan ke dalam kantong celananya yang besar dan komprang. Mereka berdua keluar toko dengan lagak yang tenang.

Tiba di tempat yang aman, Chairil mengeluarkan buku hasil kerja 'kecepatan tangan' itu. “Wah salah ambil aku!” kata Chairil. Bukan buku filsuf Fredrich Nietzsche yang didapat, tapi kitab Injil. Itu sisi yang lain dari 'kehidupan puisi' Chairil.

Malioboro: Wali Pengembara
Kehidupan puisi sejatinya saya pinjam dari ungkapan Cak Nun untuk menggambarkan laku hidup sang Presiden Malioboro, Umbu Landu Paranggi. “Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan 'Pelopor Yogya' yang berkantor di ujung utara Jalan Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam 'Persada Studi Klub'. Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan 'Kehidupan Puisi' – demikian menurut idiom Umbu sendiri,” tulis Cak Nun.

Persada Studi Klub dan Kehidupan Puisi rasanya tak terpisahkan dengan Jogjakarta khususnya Malioboro. Umbu sendiri mendapat julukan “Presiden Malioboro”. Ya, ada apa dengan Malioboro?

Kalau kita berangkat dari Tugu menuju Keraton, ada empat jalan. Pertama, Margoutomo, lalu lanjut sampai sesudah rel KA, Malioboro. Setelah itu Margomulyo, dari Kantor Pos sampai Keraton adalah jalan Pangurakan.

Selain jalan Malioboro, nama ketiga jalan tersebut pernah diganti, dan pada 2013 ketiga jalan tersebut dikembalikan ke nama semula. Jalan Pangeran Mangkubumi dikembalikan menjadi Jalan Margo Utomo, Jalan Jenderal Ahmad Yani menjadi Margo Mulyo dan Jalan Trikora menjadi jalan Pangurakan.

Mengutip jogjakarta.co.id, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam sambutannya mengatakan pengembalian nama jalan tidak berarti tidak menghargai nama jalan pahlawan. Tetapi pengembalian itu lebih mengacu kepada sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta. Dikatakan sejarah berdirinya Keraton tidak terlepas dari Hablumunnas dan Habluminallah. Pal Putih Tugu dan Beteng Krapyak sebagai bentuk simbolisasi hablumiallah dan habluminanas itu.

Margoutomo, Malioboro, Margomulyo, Pangurakan adalah empat tahap perjalanan laku-lelaku manusia. Margoutomo adalah jalan yang utama. Setiap manusia atau seorang (calon) pemimpin hendaknya memulai langkahnya dan berjalan di atas jalan utama hidupnya. Jalan seorang manusia yang memanusia, utuh padu antara akal dan hati, jasmani dan rohani, bumi dan langit, dunia dan akhirat. Humanisme transendental atau kemanusiaan yang beriman, menurut Pak Jacob Oetama.

Semua itu bukan dalam rangka membangun eksistensi pribadi, apalagi menumpuk kuasa dan harta, melainkan tugas kemanusiaan sekaligus ketuhanan. Merujuk pada makna compassion, yakni merasakan suka duka manusia lain yang diterjemahkan dalam empati dan kompasi terhadap sosok manusia, termanifestasi dalam simpati, berbagi perasaan terhadap sesama, dan keberpihakan kepada yang lemah (Refleksi 85 Tahun Jakob Oetama).

Sikap dan penghayatan pribadi yang tegak di Jalan Margoutomo itu harus diuji. Di-KKN-kan. Di-lakon-i. Di-lelaku-kan. Malioboro ("Malio-boro") adalah jalannya. Malio, jadilah wali, wakil Tuhan untuk memperindah bumi, mamayu hayuning bawana. Malioboro maksudnya jadilah wali yang boro (mengembara). Mengembarai problem-problem faktual di tengah masyarakat dengan sentuhan solusi yang adil dan beradab. Mengembarai langit rohani dan tanah intelektual untuk dipersembahkan kepada kenyataan lingkungan. Mengembarai lingkungan, bumi, dan semesta sesuai koordinat ke-kini-an dan ke-di sini-an secara online atas bimbingan Tuhan (transedental).

Pengembaraan itu akan membawa orang tiba di jalan Margomulyo, jalan kemuliaan. Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham atau inspirasi dari Tuhan, melainkan kelebihan (fadlilah), pertolongan (ma'unah), dan kemuliaan itu sendiri (karomah).

Di ujung jalan Margomulyo orang akan menapaki jalan Pangurakan. Bebas dan terbebas dari pamrih dan kepentingan dunia. Ia sudah bukan dirinya yang dulu—orang itu adalah diri-Nya. Hidup dan kehidupan orang itu berisi kesediaan untuk berbagi, satu orang tapi mewakili dan menanggung hidup orang banyak, komunitas, bangsa, dan bahkan semesta. Orang itu bukan 'siapa' lagi, melainkan 'apa kontribusi kemanusiaan dan ketuhanan' untuk orang lain, lingkungan, dan semesta.

Itulah jalan kehidupan puisi, sebagaimana Chairil Anwar, Umbu Landu Paranggi, atau sejumlah para kekasih Tuhan yang ketlingsut dari mata kamera industri media.

Wajah Malioboro Kini
Tapi, sudahlah. Itu semua terlalu muluk. Malioboro kini adalah sebuah jalan milenial yang dipadati oleh wisatawan. Mengutip Data Dinas Pariwisata DIY, pada tahun 2013, tercatat ada 2.602.074 wisatawan Nusantara dan 235.843 wisatawan mancanegara. Pada tahun 2015, jumlahnya pun meningkat drastis menjadi 3.896.572 wisatawan nusantara dan 292.096 wisatawan mancanegara. Pada 2016 dan tahun berikutnya diperkirakan pertumbuhan wisatawan akan mencapai 10 persen-15 persen.

'Idelologi' para wisatawan adalah jalan-jalan. Sikap berjalan yang cukup berbeda secara filosofis dan kedalaman maknanya dibandingkan dengan kebiasaan Presiden Malioboro berjalan pada waktu itu.

"Umbu mengajak saya 'mlaku', bukan 'mlaku-mlaku'. 'Jalan', bukan 'jalan-jalan'. Ada beda sangat besar antara 'ngepit' dengan 'pit-pitan', antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sunggugan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal,” ungkap Cak Nun.

Malioboro tidak dapat dipisahkan dari kehidupan puisi. Anak-anak muda dari berbagai komunitas menjaga 'martabat' Malioboro dari terjangan arus industrialisme pariwisata. Malioboro pernah menjadi saksi dimana manusia masih memiliki perhatian yang jujur kepada kebenaran, berbelarasa kepada yang lemah, tersingkir, dan menjadi korban.

Sepenggal 'Puisi Jalanan' ditulis Cak Nun tahun 1971 menjadi saksinya. Hendaklah puisiku lahir di jalanan / Dari desah napas para gelandangan / Jangan dari gedung-gedung besar / Dan lampu gemerlapan /

Jagalan 290916

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun